Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Minggu, 30 Januari 2011

MOTIVASI BERPRESTASI SUATU TINJAUAN LINTAS BUDAYA

A. Pendahuluan.
         Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, individual, dan berketuhanan (W.,A., Gerungan, 1991).  Sebagai makhluk sosial, individual, dan berketuhanan, ia tidak dapat melepaskan dari aktivitas atau kegiatan sehari-hari yang lazin dilakukan guna memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. 
          Kebutuhan merupakan sumber dorongan manusia dalam melakukan suatu aktivitas, apakah aktivitas belajar, aktivitas bekerja, aktivitas berolahraga, aktivitas rekreasi, maupun aktivitas lainnya dalam kehidupan.
         Dalam melakukan aktivitas sehari-hari,   manusia memiliki kecenderungan untuk mencapai prestasi yang optimal sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.   Misalnya dalam kegiatan belajar, ia melakukan rangkaian aktivitas belajar untuk mencapai  prestasi belajar yang tinggi.    Di sisi lain, prestasi yang dicapai dipengaruhi oleh intensitas usahanya, dan intensitas usaha itu juga dipengaruhi oleh dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. 
         Berbagai ragam dorongan yang dimiliki oleh individu   untuk mencapai prestasi,  disebut motivasi berprestasi.  Motivasi berprestasi  berperan memacu motif (daya) yang mendorong perilaku individu  untuk memperoleh prestasi yang tinggi.  Jadi prestasi yang tinggi ini sebagai kebutuhan yang ingin dicapai.  Kebutuhan dan dorongan-dorongan merangsang seseorang untuk berbuat atau bertingkah laku (Kartini Kartono, 1994).
      Perbuatan atau tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh budaya di mana ia bertempat tinggal.  Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama-sama kelahirannya misalnya tindakan makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya, juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan. 

        Pendapat itu lebih mendeskripsikan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh budaya, artinya  perbedaan budaya menentukan perbedaan perilaku.   Ilustrasi ini,  memberikan pemahaman kepada kita bahwa motivasi berprestasi juga dipengaruhi oleh budaya.  Lingkungan  budaya yang memacu seseorang terdorong melakukan aktivitas,  besar manfaatnya bila dibandingkan dengan lingkungan budaya yang justru melemahkan aktivitas.   Seseorang yang hidup di suatu budaya yang memacu motivasi berprestasi, berbeda dengan seseorang yang hidup di suatu   budaya yang melemahkan motivasi berprestasi.  Pada lingkungan budaya yang memacu motivasi berprestasi, memberikan nilai psikologis untuk memiliki keinginan bersaing,  yaitu keinginan untuk mengalahkan temannya dalam berbagai aktivitas, misalnya aktivitas belajar, aktivitas berolahraga, dan aktivitas bekerja.  Sedangkan pada lingkungan budaya yang melemahkan motivasi berprestasi,  tidak memberikan nilai  psikologis  untuk bersaing.  
         Yapsir Gandi Wirawan (1994) mengutip penemuan Ruith Benedict seorang sarjana anthropologi, bahwa dorongan bersaing yang dulu juga dianggap sebagai instink ternyata juga berbeda-beda bergantung sekali kepada kebudayaan yang bersangkutan. Dorongan bersaing tidak dapat ditemukan pada suku Indiann Zuni yang selalu akan membantu keluarga lain yang mengalami kesukaran. Demikian pula dorongan ini tidak ditemukan pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo. Sebaliknya dorongan bersaing yang sangat berlebihan ditemukan pada suku Indian Kwakiutl.
         Berdasarkan pendapat, penemuan, dan uraian  di atas, penulis  menyimpulkan bahwa motivasi berprestasi sebagai salah satu wujud perilaku manusia juga dipengaruhi oleh budaya.

B.  Konsep motivasi berprestasi.
               Pengertian motivasi berprestasi.  Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (1990)  motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang, sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.  W.,S., Winkel (1984) mengemukakan  motivasi adalah semua yang berhubungan dengan timbulnya dan berlangsungnya motif.  Sedangkan motif ialah segala daya yang mendorong subyek melakukan sesuatu.   Lebih lanjut (Sumadi Suryabrata,  1990) menyatakan  motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan.
          Prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah ia melakukan suatu usaha.  Hartono (1996) menyatakan  prestasi ialah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu pencapian tingkat keberhasilan tentang sesuatu tujuan, karena sesuatu usaha telah dilakukan oleh seseorang.
           Apabila kedua konsep tersebut dipadukan, maka motivasi berprestasi bisa diartikan sebagai suatu dorongan atau berbagai faktor yang menimbulkan motif (daya) yang mendorong  seseorang untuk melakukan perilaku yang memiliki intensitas kuat dalam mencapai prestasi.  Berbagai faktor atau dorongan itu, berperan memacu motif untuk mengerakan aktivitas atau perilaku seseorang dalam mencapai prestasi yang optimal, artinya prestasi yang dicapai sesuai dengan tingkat kemampuannya.     
               Ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi.    Secara intuitif,  orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memperoleh prestasi yang tinggi,  bila dibandingkan dengan orang yang motivasi berprestasinya rendah (Saifuddin Azwar, 1989).  Di lain pihak keberadaan motivasi berprestasi pada seseorang dapat diamati melalui sejumlah ciri-ciri tententu.
               John Atkinson (1974)  mengidentifikasikan empat ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi, yaitu: “ free choice, persistance  behavior, intensity of performance, dan risk preference”.  Apabila penulis terjemahkan  ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi menurut  John Atkinson, ialah bebas memilih, tingkah lakunya ulet, kerja keras, dan menyukai tugas-tugas yang berisiko.  Individu yang  motivasi berprestasinya tinggi,  memiliki kecenderungan untuk bebas memilih strategi-strategi yang konstruktif untuk berbuat atau bertingkah laku dalam mencapai tujuan.  Tingkah laku mereka sangat ulet artinya tidak mudah putus asa, ia memandang bahwa kegagalan sebagai indikasi kurangnya usaha, menyukai kerja keras, dan cenderung menyukai aktivitas-aktivitas yang berisiko.
              Ciri-ciri lain dikemukakan oleh Edwards yang dikutip oleh Yuniati dalam Saifuddin Azwar (1999)  ialah : (1) melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, (2) melakukan sesuatu dengan sukses, (3) mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha yang terampil, (4) ingin menjadi penguasa yang terkenal atau terpandang dalam suatu bidang tertentu, (5) mengerjakan sesuatu yang sangat berarti atau penting, (6) melakukan suatu pekerjaan yang sukar dengan baik, (7) menyelesaikan  teka-teki dan sesuatu yang sukar, (8) melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain, dan (9) menulis novel atau cerita hebat dan bermutu.
          Berdasarkan pendapat dan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi, ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) Ulet dalam melakukan aktivitas, bekerja keras  dengan menggunakan strategi atau metode yang relevan untuk mencapai tujuan. (2) Menyukai tugas-tugas yang berisiko, percaya diri, dan menyelesaikan tugas-tugasnya mengunakan usaha yang terampil. (3) Ingin menjadi penguasa yang terkenal dan terpandang dalam suatu bidang tertentu. (4) Memiliki nilai yang sangat berarti terhadap tercapainya tujuan, dan dorongan bersaingnya sangat tinggi. (5) Melakukan sesuatu lebih baik dengan orang lain. 

               Teori-teori motivasi.   Ada beberapa teori yang mendasari mengapa manusia memiliki dorongan-dorongan yang menyentuh motif (daya) yang berperan menggerakkan perilakunya.  
          Teori yang cukup populer dan hampir dapat diterapkan pada berbagai aspek kehidupan ialah  teori kebutuhan Abraham Maslow (Frank G., Goble, 1987).  Menurut teori ini,  pemenuhan kebutuhan manusia sebagai motivator melakukan aktivitas. Kebutuhan-kebutuhan itu, dirumuskan oleh Maslow dalam teori hirarki kebutuhan (need hierarchy theory),   yaitu : (1). Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (Physiological Needs), yang meliputi : pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, tempat berlindung, sex, dan kesejahteraan individu. (2). Kebutuhan rasa aman (Safety Needs), yang meliputi : perlindungan fisik dan perlindungan psikologis. (3). Kebutuhan sosial (Social Needs), yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan untuk ikut serta atau berpartisipasi, dan kebutuhan untuk bisa berprestasi. (4). Kebutuhan akan harga diri (Esteem Needs), yaitu kebutuhan untuk memuaskan egonya, seperti; memiliki mobil bagus, berpakaian indah, status sosial yang tinggi, dan memiliki gelar kesarjanaan. (5). Kebutuhan ingin berbuat yang lebih baik (Self Actualization), yaitu kebutuhan untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu melakukan  sesuatu yang lebih baik bila dibandingkan dengan orang lain. Kebutuhan  terakhir ini mendorong orang memiliki motivasi berprestasi.
           Menurut Mc Clelland dalam teorinya yang disebut teori motivasi sosial,  dikutip oleh  Moh. As’ad (1998) “ timbulnya tingkah laku manusia karena dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada pada dirinya”.  Kebutuhan itu yaitu: (1) Need for Achivement, merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu.  (2). Need for Affiliation, merupakan kebutuhan akan kehangatan dan songkongan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. (3). Need for Power, merupakan kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi terhadap orang lain, misalnya kebutuhan untuk memimpin pada suatu bidang pekerjaan tertentu.  Menurut Mc Clelland ketiga kebutuhan tersebut munculnya sangat dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik. Apabila individu tingkahlakunya didorong oleh tiga kebutuhan  itu, maka akan nampak ciri-ciri : (1) berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif, (2) mencari feed back di dalam perbuatannya, (3) memilih risiko yang sedang yang berarti masih ada peluang untuk berprestasi yang lebih tinggi, dan  (4) mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya. 
         Teori lain tentang  motivasi, ialah teori kebutuhan model Edwards. Menurut Edwards yang dikutip oleh Moh. As’ad (1998) “ kebutuhan-kebutuhan yang dapat mempengaruhi motivasi individu  diklasifikasikan menjadi 15 kebutuhan yang nampak pada manusia dengan kekuatan yang berbeda-beda.  Dari kelima belas kebutuhan yang berkaitan dengan motivasi berprestasi ialah kebutuhan achivement, yaitu kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain. Kebutuhan ini mendorong individu untuk menyelesaikan tugas-tugas lebih sukses untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
   
C. Pengaruh  budaya terhadap motivasi berprestasi.           
          Perilaku manusia tidak dapat dipisahkan dari budaya. Ia merupakan produk dan sekaligus pencipta budaya.  Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa (H. Abu Ahmadi, 1991).  Cipta, karya, dan rasa mengikat perilaku individu dalam berbuat, bertindak, dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya.
         Motivasi berprestasi merupakan bagian dari tingkah laku manusia, ia berperan memacu motif untuk menggerakkan tingkah lakunya.  Tingkah laku yang digerakkan oleh motif tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan yaitu prestasi yang tinggi dalam aspek kehidupan.  Dengan demikian, motivasi berprestasi juga dipengauhi oleh budaya, di mana manusia bertempat tinggal. 
        Penelitian pengaruh budaya terhadap motivasi berprestasi banyak dilakukan oleh para ahli dalam bidang psikologi.   Marshall H. Segali, et al (1990) mengutip hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh McClelland dan teman-temannya dalam menyelidiki perbedaan anak-anak dengan budaya US, di mana mereka menemukan bahwa skor motivasi berprestasi tinggi pada anak laki-laki berasal dari ibu yang hangat dan suka memberi harapan, dan ayah yang tidak otoriter. Sedangkan skor motivasi berprestasi rendah ditemukan pada anak laki-laki yang berasal dari orang tua otoriter, yang memberikan banyak tuntutan kepada anak-anak mereka selama masa kanak-kanak. 
         Selanjutnya penelitian dilakukan dalam budaya lain di luar Amerika. Rosen yang dikutip oleh Marshall H. Segall, et al (1990) menemukan anak-anak Brazil yang berasal dari keluarga dengan ayah yang otoriter,  memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Begitu juga di Turkey dengan tipe orang tua yang cenderung sangat otoriter, ditemukan anak-anaknya memiliki motivasi berprestasi yang rendah pula.  Hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa sikap dan perilaku orang tua kepada anak-anaknya yang membentuk suatu budaya tertentu mempengaruhi motivasi berprestasi.
          Pendapat para sarjana antropologi budaya yang dikutip oleh Yapsir Gandi Wirawan (1994)  diketahui  bahwa  dorongan-dorongan dan tingkah laku manusia  di dunia ini berbeda-beda sekali, bergantung pada kebudayaan-kebudayaan setempat.  Seorang anthropologi lain, Ruith Benedict  dalam (Yapsir Gandi Wirawan, 1994)  juga menemukan pada tahun 1934 bahwa dorongan bersaing yang dulunya dianggap sebagai instink itu ternyata juga berbeda-beda bergantung pada kebudayaan yang bersangkutan.  Dorongan bersaing tidak diketemukan pada suku Indian Zuni, Hopi, Arapesh, dan Pueblo. Sebaliknya dorongan bersaing yang sangat berlebihan ditemukan pada suku Indian Kwakiutl.  
          Penelitian tentang  budaya dan motivasi berprestasi belum banyak dilakukan di Indonesia.   Dalam kaitannya dengan motivasi berprestasi,  Saifuddin Azwar (1989)  menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan fungsi dari variabel-variabel kepribadian yang lain. Dikarenakan motivasi berprestasi bukan merupakan aspek kepribadian bawaan atau diperoleh dari keturunan, melainkan merupakan suatu hal yang dipelajari dan terbentuk dari pengaruh lingkungan. 
          Dari hasil penelitian dan uraian di atas,  diperoleh suatu dasar yang kuat bahwa  betapa besarnya budaya  mempengaruhi motivasi berprestasi individu.  Di sisi  lain,  budaya sebagai  hasil cipta, rasa, dan karsa manusia harus senantiasa dikembangkan untuk memacu perilakunya yang positip. Budaya membentuk lingkungan, dan lingkungan mempengaruhi perilaku manusia.  Dengan demikian dalam  peradapan manusia di era globalisasi ini, pengaruh budaya terhadap perilaku tidak mudah dihindarkan.                  

D. Penutup.
             Sejak lama motivasi berprestasi menjadi salah satu pokok bahasan dan penelitian para ahli psikologi, baik di bidang psikologi sosial, psikologi belajar, dan bidang-bidang psikologi lainnya.  Kehadiran motivasi berprestasi pada diri manusia bergantung pada budayanya.  Di satu pihak, lingkungan budaya tertentu,  berpengaruh positip,  artinya meningkatkan motivasi berprestasi. Namun dalam lingkungan budaya lain, justru  menurunkan motivasi berprestasi individu.
             Lingkungan budaya di mana orang tua memberi suasana hangat, suka memberi harapan, dan tidak otoriter, berpengaruh meningkatkan motivasi berprestasi anak.  Dan sebaliknya lingkungan budaya di mana orang tua bersikap otoriter terhadap putera-puterinya, menurunkan motivasi berprestasi. Pada lingkungan pertama ditemukan pada anak-anak dengan budaya US, begitu juga pada lingkungan kedua. 
         Para sarjana anthropologi budaya berpendapat bahwa dorongan dan tingkah laku manusia di dunia ini berbeda sekali, bergantung pada kebudayaan setempat.  Dorongan bersaing yang dulunya dianggap sebagai instink itu ternyata  berbeda-beda, bergantung juga pada kebudayaan yang bersangkutan.   Dorongan bersaing yang sangat tinggi ditemukan pada suku Indian Kwakiutl. Dan sebalinya pada suku Indian Zuni, Hopi, Arapesh, dan Pueblo, tidak diketemukan dorongan bersaing.
         Budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, yang mempengaruhi motivasi berprestasi individu.  Secara psikologis motivasi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap usaha individu, untuk mencapai tujuan.  Dalam konteks ini, perlu diciptakan dan dikembangkan lingkungan budaya yang mampu meningkatkan motivasi berprestasi individu,  dan dihindarkan lingkungan budaya yang merugikannya.

Jumat, 28 Januari 2011

PENDEKATAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY (REBT) UNTUK MENGURANGI IRRATIONAL BELIEF DAN PERILAKU AGRESI PADA PENDERITA SCHIZOPHRENIA PARANOID

Oleh:
Mohammad Shobirin


Meningkatnya kasus gangguan jiwa skizofrenia di masyarakat, dan banyaknya penderita gangguan jiwa yang berperilaku agresif (terutama penderita skizofrenia paranoid), menjadi satu kekhawatiran dan keprihatinan. Selain itu penanganan perilaku agresi pada penderita di beberapa rumah sakit jiwa, cenderung menunggu perilaku agresi itu muncul, dan tidak banyak pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mencegah perilaku agresi itu muncul/berulang. Penelitian ini berusaha untuk melihat sejauhmana kontribusi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) dalam mengatasi berbagai keyakinan irasional, mengurangi kecenderungan  agresi dan mencegah terjadinya agresi pada penderita. Beberapa hal yang dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai keyakinan irasional yang berpengaruh terhadap perilaku agresi pada penderita skizofrenia, dan selanjutnya mengurangi kecenderungan agresi tersebut dengan mengubah keyakinan dan cara pandangnya terhadap realitas. REBT menganjurkan untuk menggunakan metode “selectively ecletic, sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik yaitu rational self analysis, self control, assertiveness dan relaxation.
Penelitian ini dilakukan di Rumkital Dr.Ramelan, Surabaya, dengan mengambil sampel dua orang penderita skizofrenia paranoid, dengan teknik purposive sampling, yaitu dengan menetapkan kriteria: usia antara 25 sampai dengan 50 tahun, tidak dalam fase aktif atau dalam kondisi gaduh gelisah, kondisi mentalnya relatif stabil, tidak dalam kategori skizofrenia yang chronis dan tingkat pendidikan minimal setingkat SMU, serta dari hasil pemeriksaan intelgensi tidak mengalami gangguan fungsi intelektual yang serius. Penelitian ini merupakan quasi experimental, dengan single case subject design.
Teknik analisa yang digunakan adalah, dengan menggunakan analisa kualitatif, peneliti membandingkan berbagai perubahan sebelum  intervensi dan sesudahnya, yaitu terutama terkait perubahan irrational belief dan perilaku agresi dari masing-masing responden. Dari hasil penelitian, Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) cukup memberikan kontribusi dalam membantu mengurangi irasional belief dan perilaku agresi pada penderita skizofrenia paranoid. Feed back dan rational self analisis, dapat meningkatkan insight responden akan dirinya dan cukup membantu dalam merubah pemikiran dan keyakinan yang irasional, sehingga dapat menurunkan ide-ide permusuhan (hostility). Penurunan hostility tersebut akan berdampak besar pada penurunan beberapa dimensi agresi yang lain yaitu anger, physical agression dan verbal aggression. Perasaan marah akan berkurang dan kecenderungan perilaku agresi fisik atau verbal tidak akan terjadi ketika berbagai pemikiran dan ide-ide permusuhan dalam dirinya direduksi. Relaksasi dan self  control menjadi penguat dan mengurangi ketegangan, serta perasaan tidak nyaman.
Implikasi dari penelitian ini adalah adanya peningkatan kesadaran diri, perubahan pemikiran yang lebih positif, dan keyakinan yang lebih rasional dalam memandang suatu permasalahan, sehingga menjadikan klien mampu mengendalikan diri dari emosi dan perilaku yang tidak sehat.

Kamis, 27 Januari 2011

MENUMBUH KEMBANGKAN KREATIVITAS SISWA MELALUI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

          Kreativitas merupakan salah satu aspek perkembangan siswa yang membutuhkan perhatian dari orang dewasa seperti orang-tua dan guru di sekolah  (Hartono, 2000).   Carl R. Rogers dalam Thomas B., Roberts (1975) mengemukakan  perkembangan kreativitas membutuhkan keamanan dan kebebasan psikologis.  Keamanan psikologis dapat dimunculkan melalui tiga proses yang berasosiasi, yaitu; menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan  keterbatasan-nya; kreativitas tidak memerlukan evaluasi eksternal, dan memahami individu secara empati.  Sedangkan kebebasan psikologis menurut Rogers, adalah pentingnya guru mengizinkan siswa secara bebas berekspresi simbolik, sehingga kreativitas dapat diaktualisasikan.  Situasi seperti ini membuat individu menjadi bebas sepenuhnya untuk berimajinasi, merasakan, bahkan menjadi apapun yang penting bagi dirinya.
         Siswa yang memiliki potensi kreatif mempunyai kebutuhan dan masalah khusus.  Jika mendapat pembinaan yang tepat yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi kreativitasnya secara utuh dan optimal, mereka dapat memberikan sumbangan yang luar biasa kepada masyarakat, bangsa dan negara.  Jika tidak, mereka dapat menjadi underachiever, yaitu seseorang yang kinerjanya di bawah kemampuannya, dan hal ini tidak merugikan perkembangan dirinya saja, tetapi juga merugikan masyarakat yang kehilangan bibit unggul untuk pembangunan negara (Utami Munandar, 1999a). 
         Guilford (1985) menyoroti praktik pendidikan yang sedang berjalan berdasarkan teori struktur intelek yang ia kembangkan.  Guilford, mengemukakan bahwa terjadi ketidakseimbangan di antara pengembangan masing-masing kemampuan.  Pendidikan sekarang masih menekankan kemampuan ingatan, dan mengabaikan fungsi berpikir kreatif.  Selain itu, kebanyakan informasi disajikan dalam bentuk verbal dan kurang memberikan latihan kemampuan berpikir kreatif.  Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di beberapa negara tetangga, namun demikian di Indonesia keadaannya semakin mempriatinkan.  Model pembelajarannya pada umumnya masih menekankan aspek kemampuan menghafal, menebak terhadap beberapa alternatif jawaban soal yang sudah disediakan, sehingga para siswa dapat kehilangan potensi kreatifnya karena terbiasa menjawab soal-sola ujian dalam bentuk konvergen dan vertikal, sedikit sekali bahkan tidak pernah berlatih mengembangkan   pola pikir divergen dan lateral.
         Adalah kewajiban guru pembimbing untuk membantu dalam menumbuh kembangkan talenta dan potensi kreativitas siswa di sekolah melalui layanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan keunikan siswa.   Guru pembimbing diharapkan menjadi pelopor untuk membuka jalan baru ke arah pengembangan kreativitas siswa.  Jika tidak bangsa Indonesia tidak bisa keluar dari ancaman maut akan kelangsungan hidup.  Dalam era global ini kita menghadapi bermacam-macam tantangan, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, politik, maupun  dalam bidang sosial dan budaya. Upaya pemecahan tantangan-tantangan itu, memerlukan kemampuan berpikir kreatif, yaitu suatu kemampuan individu yang unik berupa aktivitas kognitif yang menghasilkan cara-cara baru dalam memandang suatu masalah atau situasi (Solso dalam Suharnan, 1998).    
         Kajian konseptual ini diharapkan memperoleh   solusi  ke arah menumbuh kembangkan potensi kreativitas siswa utamanya di sekolah melalui layanan bimbingan dan konseling, sebagai suatu alternatif  menyiapkan sumber daya manusia (SDM) menuju masa depan bangsa Indonesia yang mampu bersaing  baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, politik, maupun bidang sosial dan budaya dalam millennium ketiga dewasa ini.   

Konsep Kreativitas Siswa
1.  Pengertian kreativitas
         Elizabeth B. Hurlock (1999) mengemukakan kreativitas sebagai salah satu istilah yang sering digunakan meskipun merupakan istilah yang taksa (ambiguous) dalam penelitian psikologi masa kini. Hurlock (1999) mendefinisikan kreativitas secara populer yang menekankan pada pembuatan sesuatu yang baru dan berbeda.          Selanjutnya Robert J., Sternberg and Todd I., Lubart (1995) mengartikan kreativitas sebagai suatu ungkapan ide atau gagasan.  Kreativitas sebagai produk gagasan atau ide asli seseorang dapat dibedakan dengan  ide atau gagasan dari orang lain. 
         Definisi lain dikemukakan oleh Utami  Munandar (1999a) mengutip pengertian kreativitas berdasarkan tiga pendekatan yaitu pendekatan pribadi, pendekatan proses, dan pendekatan produk.  Berdasarkan pendekatan pribadi, tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya (Hulbeck dalam  Utami Munandar, 1999a). Definisi berdasarkan pendekatan proses, dikemukakan oleh Torrance dalam Sternberg yang dikutip oleh Utami Munandar (1999a) kreativitas meliputi seluruh proses kreatif dan ilmiah mulai dari menemukan masalah sampai dengan menyampaikan hasil.  Adapun langkah-langkah proses kreatif menurut Wallas yang dikutip oleh  Utami Munandar (1999a) meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.   Pada tahap persiapan seseorang berusaha mengumpulkan berbagai informasi  yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi.  Pada tahap inkubasi, seseorang dengan sengaja tidak memikirkan sejenak tentang permasalahan yang dihadapi tetapi dalam pikiran tidak sadarnya tetap berlangsung terus pencarian pemecahan masalah itu.  Sedangkan pada tahap iluminasi dan verifikasi, orang merasakan bahwa apa yang telah ditemukan masih belum lengkap, kasar, atau dalam bentuk garis besar.  Oleh karenanya, temuan itu harus dicoba dilaksanakan dan dibuktikan dalam tindakan nyata.  Pada tahapan  ini  orang melakukan eksperimentasi dan evaluasi secara terus menerus sampai diperoleh suatu karya yang sempurna dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata (Suharnan,1998).   Carl R. Rogers dalam Thomas B., Roberts (1979) mengemukakan  kriteria produk kreatif yaitu;  produk itu harus nyata (observable), produk itu harus baru, produk itu adalah hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan lingkungannya. 
         Definisi berdasarkan pendekatan pendorong dikemukakan Simpson yang dikutip oleh  Utami Munanadar (1999a) yaitu kreativitas adalah “the initiative that one manifests by his power to break away from the usual sequence of thought”.  Mengenai dorongan dari lingkungan ada lingkungan yang tidak menghargai imajinasi atau fantasi, dan menekan kreativitas dan inovasi. Kreativitas juga tidak berkembang dalam kebudayaan yang terlalu menekankan konformitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau perkembangan baru.
         Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka penulis menyimpulkan pengertian kreativitas sebagai berikut: (1) merupakan produk pemikiran, ide, ataupun gagasan-gagasan yang baru yang berbeda dengan produk pemikiran, ide atau gagasan dari orang lain; (2) merupakan proses pemikiran mulai dari menemukan masalah sampai dengan menyampaikan hasil, dan (3) perilaku kreatif memiliki ciri-ciri: produk itu nyata (observable), produk itu baru, dan produk itu hasil dari kualitas unik individu dalam interaksi dengan lingkungannya.

2.  Mengembangkan potensi kreativitas siswa
         Salah satu faktor penting dalam perkembangan kreativitas siswa, ialah upaya lingkungan sekolah untuk  menciptakan  kondisi yang memungkinkan kreativitas dapat berkembang. 
         Usaha mengembangkan kreativitas siswa selama ini banyak mengalami kendala utamanya bersumber dari kendala konseptul.  Suatu kendala konseptul  adalah mengartikan kreativitas sebagai sifat yang diwarisi oleh orang yang berbakat luar biasa atau genius (Utami Munandar, 1999b).  Kreativitas diasumsikan sebagai sesuatu yang dimiliki oleh anak secara alami, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan melalui pendidikan untuk mempengaruhinya.  Kendala ini harus mendapatkan perhatian khususnya dari kalangan pendidik seperti guru pembimbing.  Usaha-usaha penelitian yang dilakukan oleh para pendidik maupun ahli psikologi di Indonesia dapat dikatakan masih kurang.  Sehingga kita belum dapat memperoleh sumber referensi yang  cukup akurat berdasarkan budaya bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan pengembangan kreativitas anak.
         Suasana rumah yang dapat merangsang perkembangan kreativitas anak berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di luar negeri seperti yang dikutip oleh Joan Beck (1997) adalah, kreativitas anak akan berkembang lebih baik bila sikap dalam rumah tangga anda terhadap anak hangat dan demokratis.  Anak yang hidup dalam suasana orang-tua yang memusuhinya, acuh serta membatasi geraknya, ternyata kemampuan kreativitas anak mundur beberapa angka dalam waktu tiga tahun.  Sebaliknya di rumah yang orang-tuanya bersikap hangat, penuh kasih sayang, menerangkan segala tindakan mereka kepada anak, dan memberikan kesempatan kepada anak ikut mengambil keputusan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anak serta memperhatikan sekali, ternyata kemampuan kreativitas anak dapat meningkat rata-rata delapan angka.  
          Carl R. Rogers dalam Thomas B., Roberts (1979) mengemukakan, bila kondisi-kondisi yang memungkinkan munculnya kreativitas sudah ada, maka tinggal bagaimana meningkatkannya sesuai kebutuhan sosial.  Untuk itu perlu diketahui kapan dan bagaimana saatnya menguatkan kreativitas.  Kreativitas tumbuh dari dalam dan tidak bisa dipaksakan, oleh karena itu pemunculannya harus diberikan kondisi bebas.  Rogers memberikan faktor X yaitu keamanan psikologis, dan faktor Y yaitu kebebasan psikologis yang memungkinkan timbulnya kreativitas yang konstruktif.  Faktor X adalah keamanan psikologis dapat dimunculkan melalui tiga proses yang berasosiasi, yaitu menerima individu sebagai nilai yang berharga, tidak memberikan evaluasi ekternal terhadap perilaku kreatif, dan memberikan pemahaman secara empati.  Sedangkan faktor Y yang berupa kebebasan psikologis adalah suatu kondisi di mana anak dapat secara bebas berekspresi simbolik, sehingga perilaku kreatif dapat dimunculkan. Lingkungan ini sanggup membuat seseorang individu bebas sepenuhnya untuk berimajinasi, merasakan, dan menjadikan apapun yang penting bagi dirinya. Hal itu menguatkan keterbukaan dan kemampuan bermain serta memanipulasi spontan terhadap persepsi, konsep, dan arti yang merupakan  bagian dari kreativitas.   
         Hasil penelitian yang dikutip oleh Elizabeth B., Hurlock (1999) telah menunjukkan dua faktor yang penting dalam menunjang perkembangan kreativitas seseorang yaitu, pertama; sikap sosial yang ada dan tidak menguntungkan kreativitas harus ditanggulangi, alasannya karena sikap seperti itu mempengaruhi teman sebaya, orang-tua, dan guru serta perlakuan mereka terhadap seseorang yang berpotensi kreatif.  Kedua, kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan kreativitas harus diadakan pada awal kehidupannya ketika kreativitas mulai berkembang dan harus dilanjutkan terus sampai berkembang dengan baik.  Sejalan dengan kedua faktor itu, Torda dalam Elizabeth B., Hurlock (1999) mengemukakan bahwa kreativitas tidak saja bergantung pada potensi bawaan yang khusus, tetapi juga pada perbedaan mekanisme mental yang menjadi sarana untuk mengungkapkan sifat bawaan.  Orang yang kreatif dan tidak kreatif berbeda dalam hal sikap (falsafah hidup), apa yang mereka anggap penting dan yang menimbulkan kecemasan, menunjukkan perbedaan dalam kecakapan memecahkan masalah. Perbedaan ini sebagian berasal dari sifat bawaan dan sebagian dari proses adaptasi awal yang berakar dari sikap orang tua.
         Mendasarkan pada hasil penelitian dan pendapat-pendapat di atas, dapat diperoleh suatu pemahaman betapa pentingnya faktor lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan kreativitas siswa.  Sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas perkembangan kreativitas siswa, guru pembimbing di sekolah memainkan peranan penting untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan kreativitas siswa dapat muncul.  Di sekolah perilaku guru pembimbing yang penuh perhatian kepada para siswa sehingga mampu menciptakan kondisi aman dan bebas, sangat membantu mengembangkan kreativitas siswa.  Kerja sama dan komunikasi antara guru pembimbing dan oarang-tua menjadikan faktor yang sangat penting.  Para guru pembimbing di lingkungan pendidikan formal, harus mampu memberikan perlindungan rasa aman dan kebebasan kepada siswa.  Kebebasan di sini bukan berarti kebebasan yang tanpa batas, melainkan suatu kebebasan yang dapat mempengaruhi siswa untuk bertanggung jawab karena ia sudah mampu memberikan makna terhadap nilai yang penting bagi dirinya.  
3. Teori kreativitas
         Untuk memberikan wawasan yang komprehensif tentang konsep kreativitas, berikut ini penulis  mengutip dua teori kreativitas dari para ahli yang dipakai sebagai landasan dalam kajian ini sebagai berikut. 
         Teori persimpangan kreativitas (Creativity Intersection).   Teori ini diusulkan oleh T.M. Amabile yang dikutip oleh  Utami Munandar (1999a) dalam membantu anak mewujudkan kreativitas, mereka perlu dilatih dalam keterampilan tertentu sesuai dengan minat pribadinya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat atau talenta mereka. Pendidik terutama guru pembimbing perlu menciptakan iklim yang merangsang pemikiran dan keterampilan kreatif siswa, serta menyediakan sarana prasarana.  Di samping itu, siswa juga perlu memiliki motivasi intrinsik. Minat siswa untuk melakukan sesuatu harus tumbuh dari dalam dirinya sendiri, atas keinginannya sendiri.  Keberhasilan kreatif adalah persimpangan (intersection) antara keterampilan siswa dalam bidang tertentu (domain skills), keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, serta motivasi intrinsik.
         Teori psiko-komponential.   Suharnan dalam Hartono (2000) mengajukan teori psiko-komponential untuk menjelaskan secara konseptual-psikologis mengenai fenomena kreativitas dalam pendekatan komponential.  Teori psiko-komponential akan menganalisis berbagai komponen atau variabel yang dipandang dari sudut psikologi sangat potensial untuk terlibat di dalam kreativitas.  Kreativitas didefinisikan sebagi aktivitas pikiran (mental activities) manusia yang ditujukan untuk mencari dan menemukan gagasan-gagasan baru atau orijinal yang berguna atau dapat diterapkan. Sebagai suatu aktivitas pikiran, maka kreativitas dapat muncul karena keterlibatan beberapa variabel yang disebut komponen.  Komponen di sini diartikan sebagai suatu kesatuan sumber-kapasitas pokok (main component) yang di dalamnya terdiri dari beberapa satuan-satuan yang lebih kecil (cub-component) yang mempengaruhi keseluruhan proses kreatif. Komponen-komponen itu mempunyai fungsi masing-masing dan berinteraksi satu sama lain, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran dan perbuatan kreatif.

Layanan bimbingan dan konseling dalam menumbuh kembangkan potensi kreativitas siswa
          Untuk dapat menumbuh kembangkan potensi kreativitas siswa melalui layanan bimbingan dan konseling di sekolah, guru pembimbing sebagai profesional yang memiliki kualifikasi dalam bidang bimbingan dan konseling di dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengembangkan layanan bimbingan dan konseling harus mendasarkan pada beberapa prinsip yang mengacu pada pengembangan potensi kreativitas siswa.  Dalam kaitan ini, penulis mengajukan  lima prinsip, yaitu :
1). Prinsip pemahaman.  Layanan bimbingan dan konseling diberikan kepada para siswa dimaksudkan untuk membantu mereka, agar ia memperoleh pemahaman (understanding) atas kelebihan dan kekurangannya.  Dari hasil pemahaman ini, siswa dapat mengidentifikasikan potensi-potensi kreativitasnya.
2). Prinsip penerimaan.  Sebagai kelanjutan pemahaman atas potensi-potensi kreativitas siswa, selanjutnya ia menerima potensi-potensi itu (acceptance) sebagai suatu hal yang harus ditumbuh kembangkan ke arah aktualisasi diri.       
3). Prinsip kebebasan dan keamanan psikologis.  Kreativitas siswa membutuhkan kebebasan dan keamanan psikologis.  Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling di sekolah seyogyanya mampu menciptakan situasi yang menjamin pemberian kebebasan dan keamanan psikologis siswa.
4). Prinsip fleksibilitas layanan.  Fleksibilitas layanan artinya program bimbingan dan konseling dirancang dan dikembangkan dengan memperhatikan perbedaan individual siswa.  Atas dasar prinsip ini, siswa dapat merasakan bahwa layanan bimbingan dan konseling yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan mereka.
5). Prinsip keahlian.  Guru pembimbing adalah seorang profesional yang mampu memberikan layanan bimbingan dan konseling secara profesional, mendasarkan pada teori-teori modern yang dirancang dan dikembangkan sesuai dengan keunikan siswa dan kondisi lingkungan sosial budaya yang berkembang.

         Menurut pola tujuh belas bimbingan dan konseling yang sejak tahun 1995 sampai sekarang sedang dikembangkan di sekolah-sekolah, layanan bimbingan dan konseling dikembangkan menjadi 7 layanan, yaitu; layanan orientasi, layanan informasi, layanan penempatan dan penyaluran, layanan pembelajaran, layanan konseling perorangan, layanan konseling kelompok, dan layanan bimbingan kelompok.  Semua jenis layanan tersebut diselenggarakan dengan mengacu pada empat bidang bimbingan dan konseling, yaitu; bidang bimbingan pribadi, bidang bimbingan sosial, bidang bimbingan belajar, dan bidang bimbingan                    karier (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia, 1995).         
         Dengan mendasarkan pada lima prinsip bimbingan dan konseling yang penulis usulkan, yaitu; prinsip pemahaman, prinsip penerimaan, prinsip kebebasan dan keamanan psikologis, prinsip fleksibilitas layanan, dan prinsip keahlian, pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di arahkan untuk menumbuh kembangkan potensi kreativitas siswa ke arah perkembangan aktualisasasi diri.  Abraham Maslow dalam Frank G.Goble (1987)  mengemukakan bahwa orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki apa yang oleh Maslow disebut “kemerdekaan psikologis”.  Mereka mampu mengambil keputusan-keputusan mereka sendiri sekalipun melawan pendapat khalayak ramai.  Mereka tidak segan menolak kebudayaan mereka jika memang tidak sejalan dengan pandangan mereka.  Kemerdekaan psikologis ini sangatlah penting untuk dimiliki oleh para siswa agar mereka sanggup mengekspresikan potensinya menjadi perilaku yang nyata, baik dalam bentuk gagasan ke arah pemikiran kreatif maupun dalam bentuk produk-produk sebagai hasil karyanya.   Apabila situasi ini berhasil dikembangkan di sekolah, maka dapat diprediksikan bahwa bangsa Indonesia dalam dua puluh tahun ke depan akan mampu memecahkan problem-problem yang sekarang sedang dihadapi dalam bidang ekonomi, politik, kesehatan maupun sosial budaya.
          Untuk mencapai harapan tersebut, guru pembimbing hendaknya mampu sebagai pelopor pembaharuan untuk menciptakan dukungan lingkungan melalui pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dalam menumbuh kembangkan potensi kreativitas siswa, dengan menciptakan lingkungan yang mereka perlukan, yaitu :
1).  Fleksibilitas dalam kesempatan.  Karena siswa kreatif lebih suka belajar sendiri, dan mungkin belajarnya berbeda dari siswa yang lain, perlu diupayakan fleksibilitas dalam memberi kesempatan yang menuju ke pengarahan diri secara bertanggung jawab. Minat mereka yang luas dan kecenderungan berpikir divergen akan tumbuh subur dalam lingkungan yang tidak membatasi.
2). Contoh yang positif.  Guru pembimbing di sekolah diharapkan mampu menjadi model perilaku yang layak dicontoh oleh siswa.  Tokoh medel yang baik dapat memberi gambaran yang komprehensif kepada siswa kreatif mengenai jenis keterampilan yang diperlukan agar produktif dalam bidang minat khusus mereka dan sekaligus menumbuhkan motivasi mereka.
3).  Bimbingan dan dukungan.  Siswa kreatif memerlukan penguatan untuk prestasi mereka agar menjadi percaya diri terhadap karya mereka. Lingkungan yang responsif akan menguatkan semangat mereka untuk berkreasi menjadi pribadi yang kreatif.  Pujian kepada  siswa yang berkarya dan kritik yang positif dapat mendukung pertumbuhan kemampuan kreatif dan kepercayaan diri.
4).  Rasa humor.  Rasa humor dapat dikembangkan melalui penciptaan kebebasan dan keamanan psikologis kepada siswa. Humor sebagai bakat dapat disalurkan ke ungkapan kreatif secara lisan dan tulisan, drama dan karya seni, dan dapat menjadi dasar kepemimpinan yang berhasil di antara teman sebaya.
5).  Empati.  Guru pembimbing sangat penting untuk memahami masalah khusus dari siswa kreatif.  Guru pembimbing yang memahami dan memberi dukungan  dapat membantu menyelamatkan siswa kreatif dari kepercayaan yang menyakitkan bahwa ada sesuatu yang salah pada mereka. Dengan memberikan empati, seorang guru pembimbing dapat menghindari kecenderungan siswa kreatif untuk membuktikan kepada teman sebaya bahwa mereka sama seperti yang lain, dengan upaya tidak kreatif yang hanya membuang-buang talenta mereka.      

Selasa, 25 Januari 2011

KISAH NYATA (Terima telepon dari orang yang sudah meninggal)

Kisah dari sebuah Universitas di Jakarta tentang seorang gadis muda yang baru meninggal bulan lalu. Namanya Samara. Dia meninggal karena tertabrak truk.
Samara punya seorang pacar namanya Ari. Samara punya julukan miss ring-ring karena hobi banget berteleponan. Kamu tidak akan pernah melihat Samara tanpa handphone nya.
Keluarga Samara pun tahu hubungan mereka. Ari sangat dekat dengan keluarga Samara (bayangkan hubungan mereka).

Sebelum dia meninggal dia sering dengan nada bercanda berkata pada teman2 nya
"Kalo gua meninggal tolong kuburkan gua sama handphone gua"
Dia juga mengatakan hal yang sama kepada orangtuanya.

Setelah Samara meninggal tidak ada yang dapat mengangkat peti matinya. Saya juga berada disana. Banyak orang termasuk saya yang mencoba tapi tetap tidak bisa. Akhirnya mereka memanggil "orang pintar". Dia memegang sebatang kayu dan mulai berbicara sendiri perlahan. Setelah beberapa menit orang pintar itu berkata "gadis ini kehilangan sesuatu disini" Lalu teman2 Samara berkata kepada orang pintar itu tentang keinginannya untuk dikubur dengan handphonenya.

Kemudian mereka membuka kembali peti matinya dan menaruh handphone beserta simcard nya. Setelah itu mereka mencoba untuk mengangkat kembali peti matinya. Peti mati itu dapat diangkat dan dipindahkan ke mobil jenazah dengan mudah. Kami semua yang melihat ini sangat kaget.

Keluarga Samara tidak memberitahukan tentang kematian Samara kepada Ari. Setelah 2 minggu kematian Samara, Ari menelepon mama Samara dan berkata "Aku akan ketemu Samara tapi jangan katakan pada Samara bahwa aku akan datang, aku ingin membuat kejutan untuknya "
Mama Samara menjawab " Datanglah dahulu, tante ingin memberitahu sesuatu"
Setelah Ari datang, mereka memberitahukan tentang kematian Samara. Ari mengira mereka sedang bercanda, dia hanya tertawa dan berkata 
"Jangan bercanda, bilang pada Samara untuk keluar, aku membawa sesuatu untuk nya"
Akhirnya mereka membawa Ari ke kuburan Samara.
Lalu Ari berkata " Ini tidak mungkin. Kami berbicara kemarin. Dia masih tetap menelepon" Ari sangat terkejut.
Tiba-tiba handphone nya berbunyi, "Lihat ini dari Samara, lihat ini..." Ari memperlihatkan handphone nya ke keluarga Samara, dan mereka menyuruh Ari untuk menjawab. Ari menjawab telepon itu dengan memakai speaker. Mereka semua mendengar pembicaraan itu dengan sangat jelas & jernih, tidak ada gangguan apapun. Dan itu benar2 suara Samara dan sangat tidak mungkin ada orang lain yang memakainya karena Sim Card nya sudah dikubur bersama Samara. Mereka semua sangat terkejut dan memanggil "orang pintar" untuk membantu mereka lagi.. "Orang pintar" itu membawa teman nya untuk mencari jawaban atas keanehan ini. orang pintar dan teman nya itu
bekerja selama 5 jam. Dan mereka menemukan jawabannya.

TERNYATA :

XL mempunyai signal yang terbaik. Kemanapun kamu pergi, jaringannya selalu ada
(he...he..he. ..he...he. ..)

Senin, 24 Januari 2011

BELAJAR

Di dalam hidupnya manusia tidak luput dan selalu melakukan suatu proses yang dinamakan belajar, dengan belajar manusia bisa menjadi lebih tahu serta lebih mengerti tentang arti hidupnya. Dalam hal ini, Abror (1993) menjelaskan bahwa  belajar adalah perbuatan yang dilakukan secara terus menerus sepanjang hayat manusia dan sekaligus merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia untuk melakukannya demi meningkatkan bobot dan kualitas hidupnya.
Kemudian Slameto (1991), berpendapat bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan Cronbach (dalam Suryabrata, 1984) berpendapat bahwa “Learning is shown by a change in behavior as a result of experience”. Jadi menurut Cronbach belajar paling baik adalah melalui pengalaman, semakin banyak pengalaman yang diperoleh oleh individu maka dengan sendirinya akan makin banyak juga pengetahuan yang dimiliki individu tersebut. Menurut pendapat ini, proses belajar akan berhasil dengan baik apabila diperoleh melalui pengalaman.
Idrus (1993) mengatakan bahwa belajar merupakan kegiatan aktif dalam bentuk melihat, mengamati, memikirkan dan memahami sesuatu yang dipelajari, dengan melakukan kegiatan belajar maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam kebiasaan, kecakapan, sikap dan tingkah laku, pengetahuan dan pemahaman. Pendapat ini sejalan dengan Kimbel dan Garmezy (dalam Tambrani Dkk, 1994) yang berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang relatif permanen dalam perilaku yang potensial sebagai latihan yang di reward.
Mengenai perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari proses belajar Slameto (1991), mengemukakan pendapatnya bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara menyeluruh, sebagai hasil pengalamannya dalam interaksi dengan lingkungan. Salameto juga mengemukakan bahwa ciri-ciri dari perubahan perilaku yang merupakan hasil dari belajar  sebagai berikut :
1.      Perubahan terjadi secara sadar.
2.      Perubahan dalam belajar bersifat kontiyu dan fungsional.
3.      Perubahan dalam belajar bersifat permanen.
4.      Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah.
5.      Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Kesimpulan dari pendapat-pendapat tersebut bahwa belajar adalah suatu usaha yang dilakukan individu dalam upaya memperoleh informasi untuk mencapai tujuan, melalui pengalaman dan latihan didalam interaksi dengan lingkungan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar.
Belajar merupakan suatu proses yang dapat menyebabkan suatu perubahan, oleh sebab itu didalam belajar terdapat banyak faktor yang mempengaruhinya. Slameto (1995) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam kegiatan belajar antara lain :
1.      Faktor intern, yaitu faktor-faktor yang berasal dari diri siswa itu sendiri, yang meliputi :
Ø     Faktor jasmani, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.
Ø     Faktor psikologis, meliputi bakat, perhatian, intelegensi, minat, motif, kematangan dan kesiapan.
Ø     Faktor kelelahan.
2.      Faktor eksternal,  yaitu  faktor-faktor yang berasal dari luar siswa, yang meliputi :
Ø    Faktor keluarga yang meliputi : pola asuh orang tua, relasi antar anggota keluarga, keadaan ekonomi keluarga, latarbelakang budaya keluarga.
Ø    Faktor sekolah yang meliputi : metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa lain dan kedisiplinan sekolah.
Ø    Faktor masyarakat yang meliputi : kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul dan bentuk kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan Ausubel (dalam Abror, 1993) dalam teorinya menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dibagi menjadi 2 kategori, antara lain :
1.        Kategori perseorangan (Interpersonal category), meliputi :
Ø  Faktor struktur kognitif (Cognitive structure variables factor)
Ø  Faktor kesiapan yang berkembang (Developmental readiness factor)
Ø  Faktor kemampuan intelektual (Intellectual ability factor)
Ø  Faktor motivasi dan sikap (Motivational and attitudional factors)
Ø  Faktor kepribadian (personality factor)
2.        Kategoti situasi (Situasional category), meliputi :
2.1.  Praktek (practice), meliputi : frekuensi, distribusi, metode dan kondisi umum.
2.2.  Susunan atau rencana bahan pelajaran (The arrangement of instructional), dalam arti jumlah, kesulitan, tingkat ukuran, logika yang mendasari, urutan, pengaturan kecepatan dan penggunaan alat-alat peraga dalam pengajaran.
2.3.  Faktor kelompok dan sosial tertentu (Certain group and social factor), meliputi : suasana kelas, kerjasama dan persaingan dan keadaan kultur.
Karakteristik guru (Characteristics of the teacher), meliputi : kemampuan kognitif, pengetahuan tentang subject-matter, kemampuan dan kesanggupan pedagogis, kepribadian dan tingkah lakunya.

Jumat, 21 Januari 2011

DARI LINGKUNGAN ANAK BELAJAR

Jika anak banyak dicela,
ia akan terbiasa menyalahkan

Jika anak banyak dimusuhi,
ia akan terbiasa menentang

Jika anak dihantui ketakutan,
ia akan terbiasa merasa cemas

Jika anak banyak dikasihani,
ia akan terbiasa meratapi nasibnya

Jika anak dikelilingi olok-olok,
ia akan terbiasa menjadi pemalu

Jika anak dikitari rasa iri,
ia akan terbiasa merasa bersalah

Jika anak serba dimengerti,
ia akan terbiasa menjadi penyabar

Jika anak banyak diberi dorongan,
ia akan terbiasa percaya diri

Jika anak banyak dipuji,
ia akan terbiasa menghargai

Jika anak diterima oleh lingkungan,
ia akan terbiasa menyayangi

Jika anak tidak banyak dipersalahkan,
ia akan terbiasa senang menjadi dirinya sendiri

Jika anak mendapatkan pengakuan dari kiri-kanan,
ia akan terbiasa menetapkan arah langkahnya

Jika anak diperlakukan dengan jujur,
ia akan terbiasa melihat kebenaran

Jika anak ditimang tanpa berat sebelah,
ia akan terbiasa melihat keadilan

Jika anak mengenyam rasa aman, ia akan terbiasa
mengandalkandiri dan mempercayai orang sekitar

Jika anak dikerumuni keramahan,
ia akan terbiasa berpenderian

“sungguh indah dunia ini“
bagaimanakah anak anda …?

Selasa, 11 Januari 2011

Bimbingan Konseling Sebagai "Polisi" Sekolah

Bimbingan dan Konseling pertama kali  ada di negara Amerika Serikatpada tahun 1908 yang diprakarsai oleh Frank Parson Miller (Prayitno, 1999). Indonesia pertama kali mengenal istilah bimbingan sejak dekade-40an sebelum bangsa ini merdeka, yang diterapkan di Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantoro yang dengan gigihnya menanamkan falsafah Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang mengandung makna penting dan mendalam bila dilihat dari sudut pendidikan. Dari sudut pandangan bimbingan hal tersebut pada hakekatnya adalah sebuah dasar dari pelaksanaan bimbingan, (Sukardi, 2000).

Bimbingan dan Konseling telah dimasukkan dalam kurikulum SLTP dan SMU sejak tahun 1975, 1984, dan 1994 diseluruh Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor : 0433/P/1993 dan Nomor 25 Tahun 1991 diharapkan pada setiap sekolah ada petugas yang melaksanakan layanan bimbingan yaitu guru pembimbing atau konselor dengan rasio satu orang guru pembimbing atau konselor untuk 150 orang siswa (Sukardi,2000). Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 29/90 dinyatakan bahwa Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan (Sukardi,2000), sedangkan konseling merupakan salah satu jenis layanan yang merupakan bagian terpadu dari bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, yang seorang yaitu konselor berusaha membantu yang lain yaitu klien untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang di hadapinya pada waktu yang akan datang (Natawidjaja,1987).

Bimbingan dan konseling tidak hanya terpusat pada masalah pendidikan saja, salah satunya menangani bimbingan pribadi dan sosial. Pada bimbingan pribadi membantu siswa menemukan dan  mengembangkan pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mantap dan mandiri serta sehat jasmani dan rohani. Dalam bidang bimbingan sosial, membantu siswa mengenal dan berhubungan dengan lingkungan sosial yang dilandasi budi pekerti luhur, tanggung jawab kemasyarakatan dan negara. Bimbingan pribadi sosial berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi pergumulan-pergumulan dalam hatinya sendiri dalam mengatur dirinya sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan yakni pergaulan sosial (Winkel,1991).

Penelitian ini dilakukan pada Agustus 2004 di SMU Negeri 1,  SMU Negeri 4, SMU Negeri 9, SMU Negeri 16, SMU Negeri 17 dan SMU Negeri 21 Surabaya, hasilnya menunjukkan bahwa persoalan atau permasalahan yang ditangani oleh guru bimbingan dan konseling adalah permasalahan-permasalahan siswa yang berkaitan dengan persoalan kedipsiplinan, misalnya terlambat datang, membolos, keluar kelas saat jam pelajaran, terlambat membayar SPP, tidak memakai sepatu/kaos kaki yang seragam, dan lain sebagainya. Sedangkan permasalahan yang berkaitan dengan hubungan sosial masih sangat sedikit yang masuk di tangan guru bimbingan konseling.

Senin, 10 Januari 2011

Patuh Bukan Berarti Menjadi Suruhan

Pada dasarnya tidak mudah menjadi anak buah atau bawahan. Ia harus siap-siap repot, atau perlu berenergi besar agar mampu mengimbangi atasannya.Dalam budaya kita, anak buah dituntut senantiasa menyesuaikan dengan atasan. Bila atasan berkarakter disiplin, anak buah mengimbangi dengan tekun dan konsisten. Bila atasan teliti, anak buah perlu berperilaku cermat. Bila atasan pemarah, anak buah harus mengimbangi dengan kesabaran…meskipun lebih sering terbawa tegang dan emosi. Bila atasan lembut, anak buah terbawa suasana kenyamanan.

Bagaimana seharusnya menjadi anak buah atau bawahan? Untuk menjawab hal ini sebenarnya simpel saja. Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi pemimpin atas atasan. Paling tidak itu untuk memimpin diri sendiri/atau keluarga, atau lingkungan unit kerja. Suatu saat amanah menjadi pemimpin akan datang. Suatu saat kita tidak punya pilihan, kita diminta untuk menjadi pemimpin, mungkin besok, minggu depan, tahun depan atau beberapa tahun lagi. Kapan kesempatan itu akan datang tergantung kesiapan kita. Oleh karena itu, jadilah anak buah yang smart, tangguh, yang senantiasa belajar untuk berkembang, dan menunjukkan karakter seorang pemimpin atau atasan.

Bekal bagi seorang pekerja atau anak buah hanyalah ’patuh’ kepada visi dan misi organisasi. Anak buah tidak perlu takut kepada atasan selama mampu mengawal visi dan misi. Dengan kompetensi dan ketrampilan, seorang anak buah menjalankan fungsi organisasi yang secara kebetulan ’ditempatkan’ untuk membantu dan bekerjasama dengan atasan. Dalam posisi ini yang dikembangkan adalah cinta akan tugas dan bukan cinta akan kebebasan.

Menjalankan kewajiban sewajarnya sesuai ‘SOP’ organisasi tidak perlu berlebihan hingga masuk wilayah pribadi. Dengan demikian, tidak perlu lagi seorang bawahan berperilaku berlebihan kepada atasan dengan alasan takut kehilangan pekerjaan. Tidak perlu menyampaikan bisikan bila dapat dinyatakan secara terbuka. Tidak perlu menjadi orang suruhan bila dapat berinisiatif dengan ide-ide brilian. Tidak perlu ragu berbeda pendapat bila untuk menemukan kebaikan. Tidak perlu malu mengakui kesalahan bila itu memang kelalaian dalam tanggungjawabnya. Tidak perlu over acting bila dapat disampaikan dengan rendah hati.

Seorang bawahan memang dituntut kemampuan berkomunikasi. Hal ini bukan saja untuk menyelesaikan pekerjaan formal, tetapi juga untuk ‘bersahabat atau berteman’ dalam hubungan informal dengan atasan. Pertemanan ini justru mampu mengikat silaturahmi lebih langgeng, dan mendasari hubungan formal dalam pekerjaan. Hubungan pertemanan ini menjadi modal bagaimana berkomunikasi secara formal dalam menyampaikan pendapat, berbicara, dan berargumentasi dengan atasan. Seorang bawahan harus berani menyampaikan profesionalitas dan kompetensi untuk memelihara pencapaian tujuan organisasi. Memang hal ini tidak mudah, ia secara mandiri harus belajar banyak hal, mengadopsi pengalaman orang lain, mengeksekusi teknologi dan memahami karakter organisasi. Pendeknya, seorang bawahan dituntut perlu belajar berkarakter sebagai leader.

Dalam lingkungan yang penuh tantangan dan kompetisi. Peran anak buah sangat penting sebagai buffer menggenapi kompetensi atasan. Terlebih, banyak atasan yang ’tahu beres’ setiap urusan, maka ini sesungguhnya menjadi peluang anak buah mengoptimalkan potensi dan kompetensinya. Anak buah yang profesional perlu trampil menguasai pekerjaan lebih dari ’tupoksi’ sehingga ia dengan mudah membantu tugas-tugas atasan. Tentu saja ia dituntut menguasai lapangan dan informasi, serta pintar berimprovisasi menyajikannya sesuai kebutuhan profesional. Dengan demikian, ia dengan mudah membaca, menebak dan mengeksekusi pekerjaan dan ’nyambung’ dengan kebutuhan atasan.

Simpulan : Patuh kepada atasan, tidak harus menjadi orang suruhan. Bekerja untuk organisasi tanpa kehilangan karakter mandiri.