Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Senin, 31 Desember 2012


IBU BEKERJA ATAU TIDAK BEKERJA 



Pengertian ibu rumah tangga menurut konsep tradisional adalah wanita yang menggunakan sebagian besar waktunya untuk memelihara dan mengajarkan anak-anaknya menurut pola-pola yang dibenarkan oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Ibu yang tidak bekerja merupakan salah satu peran tradisional yang masih tetap banyak dipilih oleh kebanyakan wanita sampai pada saat sekarang ini.

Banyak alasan yang melatar belakangi dalam mengambil pilihan ini. Namun biasanya karena lebih didominasi oleh keinginan –keinginan untuk dapat lebih berkonsentrasi kepada pemenuhan kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan rumah tangganya, seperti mengurus suami dan mengasuh anak-anak. Faktor kedekatan hubungan antara seorang ibu dengan anak pada umumnya lebih memuaskan bagi seorang ibu daripada mencari prestasi dalam dunia kerja atau dunia di luar kehidupan rumah tangganya.

Gambaran tersebut diatas, selaras dengan pendapat Sadli (1990), bahwa inti dari kewanitaan adalah keberhasilan dari seorang wanita untuk mengisi peranannya sebagai seorang ibu. Fungsi keibuan merupakan sumber kepuasan dan keberhasilan dalam hidup mereka, sehingga mereka akan selalu bersedia berada di dalam rumah untuk mengasuh anak dan melakukan kegiatan dalam rumah tangganya, seperti memasak, mengurus segala keperluan rumah tangga dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Adalah hal yang membahagiakan apabila seorang ibu dapat memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya dan sekaligus dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangannya serta dapat mengurus suaminya dengan baik. baik seorang ibu atau istri yang baik, suami dan anak-anak merupakan harta miliknya yang paling berharga baginya (Kartono, 1992).

Masih menurut Kartono, status ibu yang tidak bekerja atau yang biasa disebut dengan ibu rumah tangga dikenal sebagai fungsi interen wanita dalam masyarakat. Fungsi ini menegaskan bahwa peran wanita sebagai ibu dalam sebuah keluarga dan juga sebagai istri yang selalu setia mendampingi suami dalam mengelola kehidupan rumah tangganya dan dapat menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Hal ini dapat dipahami bahwa fungsi dan peranan ibu rumah tangga lebih menonjol atau lebih mendominasi daripada dengan tugas –tugas lain yang dibebankan kepadanya. Dalam melaksanakan peranannya secara umum, wanita lebih banyak yang mengutamakan fungsinya sebagai seorang ibu dan istri dalam kehidupan rumah tangganya.

Faktor-faktor yang mendorong para wanita untuk memilih menjadi ibu rumah tangga  daripada bekerja di luar rumah adalah :

1.     Adanya pemahaman bahwa secara kodratnya wanita harus berada di dalam rumah untuk mengurus suami dan mengasuh anak-anaknya.

2.     Lebih mementingkan dan mengutamakan mengurus suami dan anak –anaknya.

3.     Terbatasnya kesempatan untuk mendapatkan kerja bagi wanita.

4.     Kurangnya pendidikan yang memadai. 

Peranan sebagai seorang  istri dan sebagai seorang ibu rumah tangga mencakup sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami dan situasi yang bagaimanapun juga, yang disertai dengan rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan pada pasangan hidupnya. Juga mendorong suami untuk berkarier dengan cara-cara yang benar dan sehat. Peranan sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu rumah tangga yang baik mencakup hal-hal sebagai berikut :

1.     Peranan sebagai partner seks yang baik dan sehat. Ada relasi kehidupan seksual yang berlebih-lebihan, tidak hiperseksual dan juga tidak kurang.

2.     Fungsi sebagai seorang ibu dan sebagai seorang pendidik bagi anak –anaknya dapat dipenuhi dengan baik apabila ibu tersebut mampu menciptakan kehidupan rumah tangga yang baik, aman dan nyaman.

3.     Peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga. Dalam mengurus kehidupan dan kebutuhan rumah tangga yang sangat penting adalah faktor kemampuan dalam membagi-bagi waktu dan tenaga untuk melakukan berbagai macam  tugas pekerjaan rumah tangga.

4.     Peranan sebagai pasangan hidup. Diperlukan adanya kebijaksanaan, mampu berfikiran luas, sanggup mendukung dan mau mengikuti gerak langkah suami. 

Terlaksana peran dan fungsi sebagai ibu rumah tangga tersebut diatas, diyakini  akan  menciptakan  kesamaan  pandangan  dan  perasaan  sehingga dapat dikurangi segala macam salah paham serta jurang pemisah psikis dan kultural. Maka akan semakin kecil pula resiko timbulnya perselisihan dan semakin kecil resiko terjadinya perceraian.

Dalam era teknologi modern seperti saat sekarang ini, hampir seluruh dimensi kehidupan berhasil dicapai oleh kaum perempuan, terutama bagi seorang wanita yang telah cukup mengenyam pendidikan baik formal maupun non formal. Dahulu, wanita dapat dikatakan menjadi seorang ibu yang baik apabila telah berhasil mengasuh dan dapat mendidik anak  -anaknya dengan baik, selalu menyayangi dan mengasihi suami dan anak-anaknya. Namun pengertian tersebut telah bergeser karena mengikuti adanya perkembangan dan kemajuan di segala bidang kehidupan. Adanya perkembangan dan kemajuan dapat mengangkat harkat dan martabat kaum wanita pada umumnya.

Secara umum, seiring dengan pesatnya perkembangan masyarakat, kesempatan bagi wanita untuk ikut berperan dalam pembangunan cukup terbuka lebar, baik di lapangan pendidikan maupun di lapangan pekerjaan. Terbukanya kesempatan untuk mendapat peran tersebut adalah sama besarnya bagi kaum wanita dan kaum pria. Dalam usaha untuk memenuhi peran gandanya, seorang harus memiliki kemampuan untuk bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya dan harus mampu memilih berdasarkan skala prioritas kegiatan yang dilakukan agar sesuai dengan kondisi dalam keluarganya. Suami mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan istri untuk mengejar prestasi dan kemajuan.

Bagi seorang wanita, pekerjaan dapat memberikan rangsangan pendidikan dan kesempatan untuk dapat bertemu dengan banyak orang, lepas dari tugas rumah tangganya yang membosankan, dapat menimbulkan kebanggaan karena mampu melakukan pekerjaan dengan baik, dan secara lebih mandiri dapat mencari penghasilan sendiri.

Kemajuan dan perkembangan di berbagai bidang terutama dalam bidang pendidikan, telah banyak memberikan kesempatan kepada wanita untuk meningkatkan kemampuannya. Akibat dari perkembangan tersebut, maka semakin hari semakin banyak pula wanita yang mulai bekerja di luar tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Menurut Kartono, selain memiliki tugas pokok sesuai dengan naluri kewanitaanya, yaitu sebagai seorang ibu rumah tangga, wanita juga berhak mengembangkan kemampuannya dengan bekerja di luar rumah untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluarganya. Terbukanya kesempatan bagi wanita untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi telah banyak mempengaruhi pola pikirnya serta pandangannya terhadap peran dirinya sebagai seorang wanita. Mereka tidak hanya puas dengan peranannya sebagai seorang istri yang bertugas hanya sebagai pendamping suami dan ibu bagi anak-anaknya saja. Tetapi, mereka juga ingin berperan diluar lingkungan rumah tangganya. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menerapkan ilmu yang telah diperolehnya dari bangku pendidikan ataupun karena memang penghasilan suaminya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya sehari-hari. Kondisi-kondisi tersebut dapat membuat istri terpaksa ikut membantu dengan bekerja di luar tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Secara umum, beberapa alasan mengapa istri ikut bekerja diluar tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga, adalah :

1.     Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aktualisasi dan realisasi diri.

2.     Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan standar kehidupan.

3.     Untuk meningkatkan kesempatan berinteraksi dengan orang lain.

4.     Untuk mendapatkan pengalaman dari lingkungan yang berbeda dengan lingkungan rumah tangganya.  

Alasan-alasan tersebut oleh perubahan lingkungan sosial akibat adanya perubahan dalam kebudayaan masyarakat, yaitu :

1.     Adanya perubahan kehidupan dari daerah pedesaan menuju daerah perkotaan secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi pola kehidupan, pola pekerjaan dan struktur dalam masyarakat.

2.     Adanya perkembangan yang pesat pada berbagai bidang industri.

3.     Adanya kemajuan pada bidang pendidikan, yang dapat membuat para wanita menjadi kurang puas dengan peran tradisionalnya sebagai seorang ibu rumah tangga saja, karena dirasa kurang dapat memberi tuntutan dan stimulasi intelektual.

4.     Adanya perkembangan teknologi disegala bidang kehidupan.   

Faktor-faktor  yang menjadi pendorong wanita untuk bekerja di luar rumah, yaitu :

1.     Karena alasan ekonomi : untuk membantu pendapatan bagi keluarga.

2.     Karena adanya keinginan yang kuat untuk mengangkat status dirinya agar dapat memperoleh kekuasaan dalam keluarganya.

3.     Adanya motifasi dari dalam diri untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang mampu berprestasi dan mampu hidup mandiri dalam keluarganya maupun di lingkungan masyarakat. 

Adapun manfaat bekerja bagi seorang ibu yaitu :

1.     Dapat terjalin hubungan sosial dan rasa kebersamaan antara sesama individu.

2.     Dapat memperoleh suatu pandangan yang berbeda yang berbeda dan wawasan berfikir menjadi lebih luas.

3.     Dapat saling bertukar pikiran dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dari generasi lain dan mungkin dari bidang yang lain.

4.     Dapat menambah banyak teman dan sahabat yang dapat digunakan sebagai tempat untuk bertukar pikiran.

5.     Dapat menghasilkan pendapatan bahkan juga penghargaan dari rekan kerja atau atasan.

6.     Dengan bekerja bisa mendapatkan umpan balik yang positif dan objektif, karena segala pekerjaan yang telah diselesaikan akan dinilai oleh orang lain yang ingin mengetahui apakah semua pekerjaan yang telah dikerjakan telah dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif.

Ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah ternyata tidak hanya berdampak positif, tetapi juga ada dampak negatifnya. Seperti yang diungkap oleh Baghdadi (dalam Bagimu wanita.com), bahwa wanita yang bekerja di luar rumah dapat berkurang sifat-sifat kewanitaannya dan juga dapat meningkatkan stres karena memikirkan tugas-tugas rumah tangganya dan juga memikirkan urusan pekerjaan kantornya. Lebih lanjut, kondisi tersebut dapat berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya, dapat memunculkan rasa khawatir, jenuh dan bosan pada anggota keluarganya, dapat mengurangi keinginan untuk memiliki dan melahirkan anak, dan dapat menimbulkan ketegangan dan perselisihan antara suami dan istri yang akhirnya dapat mengakibatkan perceraian.
Dampak positif wanita bekerja yaitu dapat menunjukkan bahwa kaum wanita mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya secara lebih optimal. Ibu rumah tangga yang memilih bekerja di luar rumah akan dapat lebih mandiri dalam hal mengatasi masalah perekonomiannya karena tidak sepenuhnya menggantungkan dari pendapatan suami.
Menurut Kartono (1992), dampak seorang istri yang hanya berperan sebagai seorang Ibu rumah tangga saja biasanya hanya berperan sebagai bawahan suami dan mengabdikan seluruh waktunya untuk suami dan anak anaknya tanpa mengindahkan minat-minat mereka terhadap kebutuhan dan keperluan mereka sendiri. Menurut pandangan tradisional, peranan melayani suami dan anak-anaknya serta seluruh keperluan rumah tangganya di rumah merupakan sifat yang sangat terpuji. Istri tidak punya waktu untuk mengembangkan minat dan bakatnya di luar rumah untuk menghasilkan tambahan biaya bagi keperluan rumah tangganya. Maka, praktis sang istri hanya tergantung secara ekonomis kepada suaminya.

Dampak ibu tidak bekerja
Terkurungnya seorang wanita yang tidak bekerja dan hanya berada  dalam rumah tangganya saja dapat mengakibatkan hal-hal seperti ini :
1. Wanita menjadi tidak "up to date", yang berarti bahwa wanita tersebut tidak dapat mengikuti adanya perkembangan yang ada di luar lingkungannya akibat kurangnya informasi tentang dunia luar, karena waktunya hanya terbatas dalam lingkungan rumah tangganya saja.
2. Menjadi kurang percaya diri akibat kurangnya pengetahuan dan informasi yang didapatkannya, akibatnya kepribadiannya menjadi kurang berkembang.
3. Menjadi sulit bersosialisasi dengan lingkungan disekitarnya, terutama dengan orang-orang yang belum dikenalnya.
4. Tidak siap terjun ke dalam lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya.
5. Karena tidak mempunyai penghasilan sendiri, maka posisi ekonominya lemah dan sangat tergantung dari penghasilan suami. Bila terjadi perceraian istri tersebut akan lebih banyak mengalami kesulitan ekonomi.

Dampak ibu bekerja
Pada umumnya, seorang istri yang bekerja di luar rumah dapat berdampak terhadap keluarganya. Menurut Kartono (1992), dampak wanita bekerja, yaitu :
1. Mempunyai efek terhadap kesehatan mental bila diukur berdasarkan dari aspek psikologis. Wanita yang bekerja mempunyai simptom stres yang lebih rendah daripada ibu rumah tangga biasa. Hak untuk bekerja dapat membebaskan seorang istri dari rasa bosan dan dapat membantu tercapainya kebahagiaan pada dirinya.
2. Adanya peningkatan dalam memberikan          keputusan atau mempunyai kekuasaan dalam keluarganya. Lebih jauh dikatakan bahwa pada pasangan yang sama-sama bekerja cenderung melakukan diskusi untuk memutuskan suatu permasalahan, daripada dibandingkan pada pasangan yang hanya suaminya saja yang bekerja.
3. Bekerja dapat mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan. Bila suami dan istri bisa saling mendukung masa bisa tercapai kepuasan dalam perkawinannya. Tetapi jika pasangan tersebut tidak saling mendukung sepenuhnya, maka akan dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam perkawinannya (apabila tidak ada persetujuan sebelumnya antara suami dan istri dalam pembagian tugas rumah tangganya). Wanita yang telah menikah menganggap timbulnya ketegangan dan kerenggangan dalam hubungan suami istri diantaranya berkaitan dengan peran gandanya sebagai seorang istri dan sebagainya seorang pekerja. Keluhan-keluhan yang paling sering muncul dan yang paling umum dikemukakan oleh kaum wanita yang telah menikah dan bekerja adalah dari para suami mereka yang sama sekali tidak membantu dan tidak mendukung dalam urusan rumah tangga dan dalam hal mengasuh anak­ anaknya.

Rabu, 30 Mei 2012


BERMAIN ITU BELAJAR

Tidak ada perbedaan pendapat menyangkut kewajiban bagi setiap anak, bahwa setiap anak harus belajar. Namun, bagaimanakah dengan “bermain", apakah setiap orang tua memperhatikan dan peduli dengan “bermain” bagi anak ? apakah orang tua menyadari bahwa bermain itu merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi anak ? Sejak dahulu kala, anak-anak manusia bahkan juga anak-anak dari binatang senantiasa bermain. Lihat saja anak kucing ketika sudah mampu berjalan, mereka akan saling kejar, saling gigit dengan saudaranya yang lain, mereka akan mengejar jika kita berikan benda yang bergerak. Anak-anak manusiapun juga demikian, sejak matanya terbuka dan mulai mengikuti gerak benda yang ada didepannya, sampai dengan bisa berjalan dia akan selalu bermain dengan lingkungan sekitarnya. Banyak bentuk dan benda sebagai media bermain bagi anak, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang mewah, mulai dari yang tradisional sampai dengan yang modern, ada gasing, congklak, kelereng mungkin kalau jaman sekarang terutama untuk anak-anak yang tinggal di kota sudah mulai langka dengan permainan-permainan yang demikian, anak-anak kota lebih mengenal play station, dibandingkan dengan petak umpet.
Dengan bermain, anak-anak mengekspresikan diri dan ge­jolak jiwanya. Karena itu, dengan permainan dan alat-alatnya, seseorang dapat mengetahui gejolak serta kecenderungan jiwa
anak dan sekaligus dapat mengarahkannya.
Namun yang lebih utama “bermain” adalah suatu bentuk belajar, secara alamiah dan naluriah setiap makhluk yang dilahirkan ke dunia akan berusaha untuk mengenal lingkungannya, berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Dari mana singa pandai menangkap rusa ? tentunya dari belajar. Belajarnya bagaimana ? Sudah pasti dari induknya. Bagaimana induknya mengajari cara menangkap mangsa ? Nah kita bisa lihat si anak singa sewaktu masih kecil dia bermain dengan induknya atau juga bermain dengan saudara-saudaranya, berlari, mencakar, menggigit, mengejar, mengendap-ngendap dan lain sebagainya. Semua bentuk permainan ini merupakan bentuk pembelajaran, bagaimana dia bisa mengenal lingkungannya, sebagai pembelajaran bagaimana dia mampu membela diri dari ancaman lingkungan sekitarnya, pembelajaran bagaimana dia bisa bertahan hidup di hari selanjutnya. Itulah yang saya atakan bahwa bermain adalah belajar yang secara alamiah dan naluriah sudah ada pada setiap makhluk yang dilahirkan.
Manusia sebagai makhluk yang jauh lebih sempurna dari binatang tentunya dalam memaknai bermain tidak hanya sekedar mempertahanan hidup saja, karena manusia mempunyai jiwa, akal pikiran dan perasaan.
Bermain adalah sarana tumbuh kembang bagi anak, Melalui bermain anak melakukan gerakan-gerakan yang bermanfaat untuk pertumbuhan mereka, bermain juga sarana belajar yang esensial bagi mereka. Melalui bermain, anak belajar tentang sosialisasi, negosiasi, berkomunikasi, pemecahan masalah, sudut pandang, pikiran dan perasaan orang lain.
Bermain atau mengantarkan anak bermain harus dibarengi dengan bimbingan orang tua, tidak semua permainan harus dilepas sendiri pada anak, tetapi juga orang tua tidak perlu selalu mengatur anak dalam bermain. Pada permainan-permainan tertentu orang tua juga harus ikut serta dalam permainan itu, namun pada permainan yang lain anak juga harus diberi kesempatan untuk melakukan dan menyelesaikan permainannya sendiri. Terkadang orang tua terlalu memaksakan keinginannya dalam bermain, yang secara tidak sadar orang tua telah menghambat kreativitas anak dalam menyelesaikan persoalan. Bimbingan dan arahan juga masih sangat penting, terutama dizaman modern ini, tidak sedikit permainan anak yang kurang mendidik bahkan cenderung berdampak negatif bagi anak. Disinilah peran orang tua sangat penting dalam membimbing, mengarahkan serta memilih bentuk-bentuk permainan.
Cukup banyak hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua dalam mengarahkan anak melalui permainan. Tidak hanya menyangkut waktu yang banyak tersita oleh pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas di kantor, tetapi juga “kemampuan” dalam memilih permainan yang sesuai dengan anak, permainan yang lebih mendidik, karena sebenarnya permainan itu tidak harus mahal, tidak harus canggih tetapi yang lebih penting bentuk dan jenis permainan itu mampu mendidik dan mengembangkan anak. Bahkan sebenarnya banyak permaianan-permainan yang bisa dibuat sendiri, dan jika alat permainan itu mampu dibuat sendiri juga merupakan pelajaran bagi anak agar kreatif dan mendidik anak agar mampu dan mau menghargai hasil karya sendiri.

Kamis, 15 Maret 2012


KESETARAAN GENDER

Kata gender tidak dapat disamakan dengan jenis kelamin, walaupun sebenarnya keduanya memang sulit dipisahkan, tetapi yang pasti keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin lebih mengarah kepada perbedaan fungsi dan alat kelamin yang melekat pada setiap orang sejak mereka mulai tumbuh dan berkembang dalam kandungan. Laki-laki dan perempuan yang menjadi kata pembeda dari jenis kelamin tersebut. Sedangkan pada istilah gender lebih menekankan pada konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya yang berlaku pada masyarakat, artinya bukan lagi menjawab perbedaan fungsi atau alat reproduksi yang ada pada masing-masing laki-laki atau perempuan, gender tidak lagi membahas perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati yang dibawah sejak dalam kandungan, melainkan suatu bentuk rekayasa masyarakat atau suatu bentuk konstruksi sosian (social construction).
Istilah gender mulai “ngetop” sejak adanya perjuangan dari kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yaitu yang disebut “kesetaraan”. Awalnya, pada tahun 1910 sebuah konferensi internasional di Copenhagen yang diorganisir oleh kaum sosialis yang memutuskan untuk ada satu momentum hari perempuan internasional sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan hak-hak asasi perempuan dan mendorong perjuangan hak suara perempuan diseluruh dunia.  Setahun kemudian (1911) Hari Perempuan Internasional pertama kali diperingati di Denmark, Austria, Jerman dan Swiss yang melibatkan satu juta perempuan dan laki-laki melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan: hak ikut serta dalam pemilu, hak untuk bekerja, penghapusan diskriminasi dalam bekerja. Walaupun jauh sebelum itu, di tanah jawa sudah ada seorang perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dan kesetaran dengan kaum laki-laki, tepatnya pada tahun 1879 Raden Ajeng Kartini telah berjuang untuk kaum perempuan. Tidak hanya sekedar menyampaikan wacana tentang kesetaraan gender, tapi dia sudah melakukan berbagai hal agar kaum perempuan tidak menjadi kaum yang dimarginalkan.
Wacana dan perjuangan ini terus bergulir, terus diperbincangkan dan terus diperjuangkan seakan-akan tidak pernah selesai. Hal ini adalah suatu yang wajar, dengan perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial budaya telah menuntut kita untuk ikut berubah menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan tersebut. Hal lain mengapa persoalan gender ini masih terus menjadi topik perbincangan yang tidak kunjung selesai adalah di satu sisi adanya keinginan terhadap emansipasi wanita, tetapi disisi lain ada sebagian kaum wanita masih menerima, patuh, pasrah atau  bahkan ada sebagian yang dapat dikatakan “menikmati” atas posisinya sebagai “obyek” dari kalum laki-laki.
Mungkin itulah sekelumit mengapa persoalan gender masih terus diperbincangkan, dan pasti masih banyak sekelumit-sekelumit lain tentang gender, mari kita tunggu saja.

Rabu, 01 Februari 2012


KEHARMONISAN DALAM PERKAWINAN PAKSA
       Perkembangan zaman semakin maju menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dan berubah. Hal ini seharusnya dapat mempengaruhi pola pikir manusia, salah satunya adalah tentang sebuah pernikahan. Ada suatu zaman dimana masyarakat menyebutnya zaman Siti Nurbaya yaitu pernikahan atas dasar paksaan orang tua. Orang tua berperan penuh terhadap pernikahan anaknya. Orang tua tidak lagi memperhatikan hak-hak seorang anak dan sebaliknya seorang anak merasa tidak merdeka atas hak-haknya, orang tua hanya menuntut kewajiban pada anaknya yakni patuh pada orang tua.
Saat ini ternyata masih ada orang tua yang menikahkan anaknya secara paksa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990), arti kata “paksa” yaitu mengerjakan sesuatu yang di haruskan walaupun tidak mau. Praktik kawin paksa hingga saat ini masih terjadi di beberapa belahan dunia. Padahal kawin paksa jelas tidak sesuai dengan ketentuan Nabi. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: ”Janganlah kalian menikahkan perempuan kecuali setelah meminta persetujuan darinya” . Menurut Alam (1998), kawin paksa merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa berwenang. Perkawinan jenis ini bisa di pastikan tidak akan bahagia, rumah tangganya terasa tidak harmonis. Perkawinan model ini jelas sangat kuno, sampai zaman komputer ini masih juga kita jumpai. Sudah barang tentu perkawinan jenis ini akan membuat si pihak yang dipaksa sangat menderita batin dan hidupnya sengsara. Serta semakin bertambahnya kasus perceraian akibat kawin paksa dari tahun ketahun.
Menurut Sahli (2004), rumah tangga yang harmonis adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri yang di dasari oleh kerelaan hidup bersama atau dalam arti lain, suami istri itu hidup dalam ketenangan lahir dan batin, karena merasa cukup puas atas segala sesuatu yang telah dicapai dalam melaksanakan tugas keluar yang menyangkut bidang nafkah, seksual dan pergaulan antar anggota rumah tangga.
Ciri-ciri rumah tangga yang harmonis (dalam Herviani, 1994), adalah sebagai berikut :
a.      Adanya kasih sayang, kasih sayang adalah sebuah ungkapan perasaan yang dirasakan oleh individu sebagai reaksi emosi yang dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian yang besar, saling pengertian, dan membina suasana hangat terhadap pasangan.
b.      Adanya saling pengertian., istri harus memahami kekurangan dan kelebihan suami begitu pula sebaliknya. Adanya saling pengertian antara suami istri akan menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai.
Adanya komunikasi, komunikasi merupakan satu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia karena dengan berkomunikasi akan memperkecil kesalahpahaman

Alam (1998), menyatakan bahwa kawin paksa merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa berwenang.
Menurut Alam (1998), kawin paksa merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa berwenang. Perkawinan jenis ini bisa di pastikan tidak akan bahagia, rumah tangganya terasa tidak harmonis. Perkawinan jenis ini akan membuat si pihak yang dipaksa sangat menderita batin dan hidupnya sengsara.
Pernikahan paksa pada keluarga yang cenderung agamis, keharmonisan rumah tangganya dapat diciptakan dimungkinkan karena pasangan tersebut takut di benci Allah jika bercerai. Hal ini di sebabkan masyarakat tersebut berpedoman pada hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim r.a, yang berbunyi :
ﺍﺑﻐﺽ ﺍﻠﺤﻼ ﻞ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﺍﻠﻄﻼ ﻕ
Artinya : barang halal yang dibenci Allah adalah talak
Berbeda dengan pendapat di atas, Zajonk (dalam Baron, 2004), mengatakan bahwa jika seseorang bertemu dengan suatu stimulus secara terus menerus maka stimulus tersebut akan menjadi stimulus yang positif bagi seseorang tersebut. Bahkan pada stimulus yang di anggap seseorang tersebut stimulus negatif, dengan seringnya kontak dengan stimulus tersebut maka stimulus tersebut akan berubah menjadi stimulus yang positif bagi seseorang tersebut.
Baron (2004), berpendapat bahwa jika seseorang merasa tidak suka pada orang lain, dan ketika didukung dengan faktor kedekatan secara fisik, maka akan terjadi paparan berulang (repeated exposure). Dan paparan berulang tersebut akan mengakibatkan suatu afek positif yang berakibat pada ketertarikan interpersonal.
Hal tersebut di atas bisa juga terjadi pada pasangan yang rumah tangganya di latarbelakangi kawin paksa. Pasangan yang pada mulanya sama-sama tidak memiliki ketertarikan karena setiap hari berada pada satu rumah, semakin dekatnya jarak fisik di antara pasangan tersebut, setiap hari bertemu dan bertatap muka  bahkan mungkin berinteraksi berakibat pada meningkatnya evaluasi positif pada pasangannya yang pada akhirnya akan muncul ketertarikan diantara kedua pasangan tersebut sehingga terciptalah keharmonisan di dalam rumah tangganya.
Hal ini sesuai dengan pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino” yakni perasaan cinta dan kasih sayang itu akan tumbuh pada seseorang karena sering bertemu. Maksudnya adalah di mana individu yang semula tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang pada calon pasangan hidupnya, tetapi setelah menikah tumbuh sedikit demi sedikit rasa cinta dan kasih sayang tersebut karena setiap hari bertemu, bertatap muka, berkumpul dalam satu rumah, berkomunikasi, dan berinteraksi setiap hari. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada fenomena pernikahan paksa, maksudnya adalah dimana individu yang semula tidak menghendaki adanya pernikahan tersebut karena tidak adanya rasa cinta, kasih dan sayang terhadap pasangannya maka rasa itu akan tumbuh setelah individu tersebut menikah.

Sabtu, 28 Januari 2012

KECERDASAN EMOSI PADA PASUKAN PENGENDALI MASSA (DALMAS)

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan salah satu  institusi penting dalam suatu negara hukum sebagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikatakan didalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2002 pasal 2 bahwa “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,  perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada mesyarakat”. Sedangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 1 dikatakan bahwa ” Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri”.
Salah satu gangguan kamtibmas yang menjadi fokus perhatian POLRI saat ini, adalah bagaimana manangani kejahatan atau gangguan kamtibmas yang dilakukan secara massal. Kejahatan dengan melibatkan pelaku dalam jumlah yang sangat besar sampai mencapai ribuan seperti unjuk rasa, penjarahan massal, rusuh massal, perkelahian antar kelompok, pembalakan liar, penambangan liar, issu sara, eksekusi obyek sengketa, penggusuran pemukiman liar,  pembunuhan dukun santet dan sebagainya. Mengapa demikian, karena gangguan keamanan seperti tersebut diatas mempunyai spektrum ancaman faktual dan dampak sosial yang sangat luas, juga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan merongrong kewibawaan negara, serta menghambat pertumbuhan ekonomi nasional karena investor asing takut menanamkan modalnya di negara yang keamanannya tidak terjamin.
Gangguan keamanan dan kejahatan massal sebagaimana diuraikan diatas, dalam penanggulangan dan penanganannya di lapangan oleh aparat POLRI selalu berakhir dengan terjadinya bentrokan, arogansi dan kekerasan (agresi) yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik oleh aparat maupun oleh massa yang ditertibkannya. Dalam bentrokan tersebut selalu menimbulkan korban dari kedua belah pihak, baik luka-luka bahkan sampai meninggal dunia. Akibat lain yang ditimbulkan adalah kerugian harta benda, rusaknya infra struktur sosial dan hancurnya hasil pembangunan serta menimbulkan ketakutan, kecemasan dan perasaan tidak aman pada masyarakat. Contoh nyata kasus kekerasan yang terjadi antara aparat  dan massa adalah kasus tewasnya mahasiswa trisakti dalam kerusuhan reformasi yang dikenal dengan  tragedi “Jembatan Semanggi” tanggal 14 dan 15 Mei 1998 di Jakarta (Jawa Pos, 15&16 Mei 1998), tewasnya tiga orang anggota brimob dalam kasus kerusuhan massa di Abepura Jayapura Papua, peristiwa Tanah Runtuh Gebang Rejo Poso Kota tanggal 22 Oktober 2006 yang menewaskan 1 orang masyarakat oleh pasukan brimob (Jawa Post, 23 Oktober 2006), penganiyaan mahasiswa UMI Makassar oleh pasukan dalmas Poltabes Makasaar Sulawesi Selatan, kasus kerusuhan supporter persebaya (bonek), tewasnya aparat dalam penggerebekan aliran sesat di Makassar dan sebagainya.
Pasukan pengendali massa (dalmas), adalah pasukan POLRI yang berasal dari unsur Brimob dan Samapta yang dipersiapkan dan dilatih secara khusus untuk menangani gangguan kamtibmas dan kejahatan yang bersifat massal sebagaimana yang diuraikan diatas. Pasukan ini dalam pergerakannya di lapangan, selalu dalam bentuk kelompok baik dalam bentuk peleton (ton), kompi (ki), batalion (yon) sampai dengan detasemen (resimen) tergantung dari jenis massa, jumlah massa dan eskalasi ancaman faktual yang dihadapi di lapangan. Untuk menghindari adanya penyimpangan dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugas mengendalikan massa, pasukan ini dilatih secara khusus tentang pengetahuan bagaimana cara mengendalikan massa, melokalisir, mengevakuasi dan membubarkan massa dengan aman dan tertib tanpa menimbulkan korban. Disamping dilatih secara khusus, pasukan ini juga dilengkapi dengan piranti lunak (pilun) berupa prosedur tetap (protap) yang mengatur tentang prosedur dan langkah-langkah serta pedoman yang harus dilakukan dalam mengamankan massa di lapangan.  Didalam protap pengendalian massa, dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan tindakan yang harus diambil pasukan dalmas di lapangan, disesuaikan dengan jumlah dan jenis massa serta tingkat eskalasi ancaman yang dihadapi. Penekanan dalam protap tersebut lebih diarahkan kepada pendekatan psikologis dengan lebih mengedepankan pendekatan persuasif, preventif dan preemtif daripada pendekatan represif, dengan maksud untuk mencegah terjadinya konflik horisontal antara aparat dengan massa. Langkah–langkah tersebut antara lain misalnya, ketika menghadapi massa  demonstran atau unjuk rasa yang damai, dalam hal ini tugas pasukan adalah mengawal  dan memberikan rasa aman ketika massa berorasi sampai selesai kegiatan massa dan tidak dibenarkan menggunakan atribut dalmas lengkap. Tetapi apabila massa yang dihadapi adalah massa yang marah yang dapat menjurus kearah terjadinya rusuh massal, maka langkah-langkah yang dihadapi berbeda. Dalam  menghadapi massa yang marah pendekatan yang diutamakan tetap persuasif, preemtif dan preventif dengan mengedepankan negoisasi dengan korlap-korlap massa , namun apabila tidak berhasil pasukan dibenarkan melakukan tindakan represif yang terukur. Diawali negoisasi dengan korlap atau pimpinan massa, penghadangan massa oleh pasukan yang memakai tongkat dan tameng dalmas, penyemprotan air dengan kendaraan taktis (rantis) water canon, penembakan dengan gas air mata, penembakan dengan peluru hampa, penembakan dengan peluru karet, dan tahapan terakhir adalah penembakan dengan peluru tajam dengan prinsip terarah dan terukur. Tindakan represif ini hanya disarankan apabila situasi di lapangan sudah tidak dapat dikendalikan dan amuk massa sudah mengarah kepada rusuh massal yang brutal, arogan dan merusak serta menimbulkan korban.
Sebelum dilakukan tindakan represif terlebih dahulu diberikan peringatan melalui pengeras suara oleh perwira pengendali di lapangan, yang diawali dengan kata-kata atas nama undang-undang dan demi ketertiban umum serta keamanan masyarakat, diperintahkan kepada saudara-saudara untuk segera membubarkan diri dan kembali ketempatnya masing-masing  dan seterusnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka dilanjutkan dengan tembakan peringatan ke udara sebanyak tiga kali, dan selanjutnya tindakan represif dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan diatas.  Protap ini dimaksudkan untuk menyamakan langkah dan tindakan pasukan di lapangan, serta untuk menghindari adanya pelanggaran dan penyimpangan prosedur yang dapat berakibat terjadinya pelanggaran HAM baik ringan maupun berat oleh pasukan dalmas.
Tugas pasukan dalmas di lapangan adalah menjaga, melokalisir dan menghalau massa agar tetap berkumpul di suatu tempat dan kemudian membubarkannya. Pada umumnya konsentrasi massa yang sedang dihadapi  adalah merupakaan massa yang tidak puas, massa yang frustrasi, massa yang sedang mengajukan suatu tuntutan dan massa yang sedang marah. Apabila massa yang sedang marah tersebut kemudian terhalangi kehendaknya, sesuai dengan sifat-sifat massa yang dinamis, sensitif, distruktif, mudah berubah dan emosional, maka ada kecenderungan massa untuk melakukan tindakan agresi dan provokasi terhadap pasukan dalmas yang dianggapnya sebagai penghalang aspirasi dan tuntutannya.
Provokasi dan agresi massa terhadap pasukan dalmas di lapangan dapat berupa ejekan, caci maki dengan kata-kata kotor hingga berbentuk agresi fisik. Seperti mendorong dan mendesak pasukan dengan kekuatan massa, pelemparan batu, pelemparan telur busuk atau tomat busuk dan kotoran manusia, pelemparan bom molotov  (bondet), merusak barikade dan kendaraan petugas, membakar ban bekas, melakukan pemukulan dengan benda tajam dan benda benda keras lainnya. Agresi tersebut dapat berakibat terjadinya korban luka berat dan ringan, bahkan yang fatal dapat menimbulkan kematian pada pasukan dalmas sebagaimana yang telah dicontohkan diatas. Disamping dapat berakibat secara fisik, agresi massa juga dapat berakibat secara psikhologis kepada pasukan dalamas, seperi rasa takut, stress, cemas dan traumatis. Karena harus menanggung provokasi dan agresi secara terus menerus di lapangan, pasukan dalmas disamping harus dilatih secara khusus dan profesional juga dituntut mempunyai stabilitas emosi yang mantap, mempunyai ketegasan dan keberanian yang terarah, sabar, mempunyai kwalitas fisik dan psikhis yang prima serta mempunyai mental kepribadian yang menarik.
Provokasi yang dilakukan pasukan dalmas terhadap massa adalah merupakan respon balik terhadap prilaku massa yang sebelumnya telah melakukan provokasi dan agresi, sehingga peristiwa yang terjadi selanjutnya adalah merupakan kontra agresi antara massa dengan pasukan dalmas. Agresi yang dilakukan pasukan dalmas terhadap massa dapat berupa ejekan, caci maki dan teriakan-teriakan dengan suara keras sebagai luapan ekspresi kemarahan, dorongan dengan  tameng dalmas, pemukulan dengan tangan kosong dan tongkat dalmas, penggunaan kendaraan taktis (rantis), kendaraan penyemprot air (water cannon), penembakan dengan gas air mata, penembakan peluru hampa dan peluru karet dengan tujuan  untuk membubarkan kerumunan massa.
Agresi merupakan tindakan individu yang diarahkan pada penghalang dalam pencapaian kepuasan (Krench, Crutchfield, dan Ballachey, 1982). Menurut para akhli psikologi, konsep agresi secara umum dimengerti sebagai tindakan yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang lain (Baron & Grasiano, 1991). Yang menarik perhatian penulis yang sebelumnya pernah bertugas sebagai pengendali pasukan dalmas, pada kenyataannya di lapangan ditemukan bukti, bahwa tidak semua anggota yang tergabung dalam pasukan dalmas serta merta melakukan tindakan agresi kepada massa.
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku agresi pasukan dalmas di lapangan, salah satunya menurut peneliti adalah peranan faktor kecerdasan emosional (emotional intelligence) masing-masing personel. Hal ini terlihat dari prilaku pasukan di lapangan, ada yang gampang emosional, mudah tersinggung, sehingga mudah dipengaruhi oleh situasi lapangan untuk melakukan provokasi dan agresi terhadap massa, tetapi ada yang mampu mengendalikan emosinya dengan baik dan tidak ikut  melakukan agresi terhadap massa yang dihadapinya. Kecerdasan emsional (emotional intelligence) menurut Goleman (1966), mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Fenomena ini menarik perhatian dan menggugah minat peneliti, untuk melakukan penelitian terhadap perilaku agresi pasukan dalmas di lapangan dikaitkan dengan kecerdasan emosional masing-masing personil yang tergabung didalamnya. Walaupun belum ada teori-teori dan pengetahuan empirik lainnya yang menjelaskan tentang adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi. Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana perilaku agresi yang dilakukan pasukan dalmas, apakah ada kecenderungan perilaku agresi pasukan dalmas berhubungan dengan kecerdasan emosional masing-masing personilnya. Dengan asumsi semakin tinggi kecerdasan emosional semakin rendah perilaku agresi yang muncul dan sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional semakin tinggi perilaku agresi yang muncul. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan menjawab pertanyaan sejauh mana perilaku agresi pasukan dalmas, bagaimanakah tingkat kecerdasan emosional personil pasukan dalmas dan apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi pasukan dalmas ketika menghadapi, mengawasi dan mengendalikan konsentrasi massa di lapangan.

AGRESI
Pengertian agresi secara harfiah seringkali membingungkan dan tidak dapat didefenisikan secara spesifik, karena pengertian agresi secara terminologi menpunyai cakupan yang sangat luas dan dapat dipergunakan diberbagai bidang ilmu, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju. Pengertian agresi lebih tepat untuk digunakan dalam lapangan ilmu psikologi, biologi dan ilmu sosial, karena pada dasarnya agresi adalah naluri alamiah yang dimiliki manusia dan binatang yang dipakai untuk mempertahankan diri dari ancaman yang dihadapinya.
Berkaitan dengan disiplin ilmu psikologi, secara umum agresi dipahami sebagai prilaku yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang lain (Baron & Grasiano, 1991; Baron & Byrne, 1991; Brehm & Kassin, 1996; Sabini, 1992). Agresi juga didefinisikan sebagai respon individu yang bertujuan untuk melukai organisme (Dollard, Doob, Miller & Sears dalam Back, 1977). Ahli  psikologi yang lain Krech, Crutchfield, dan Ballachey (1992), mendefinisikan agresi sebagai tindakan individu yang diarahkan kepada penghalang pencapaian kepuasan. Tindakan agresi tidak hanya selalu ditujukan kepada obyek penghalang pencapaian kepuasan saja, tetapi dapat juga ditujukan kepada obyek lain yang tidak ada kaitan langsung dengan faktor penghalang tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa prilaku menyerang orang lain dinyatakan sebagai perilaku agresi apabila perilaku tersebut dilakukan dengan suatu niat atau kesengajaan (Taylor, Pepleu & Sears, 1994). Pengertian ini perlu dipahami untuk mengetahui dan membedakan serta memberikan penilaian apakah prilaku organisme yang  terjadi dapat dikategorikan sebagai perilaku agresi atau tidak. Robert Baron (dalam Koeswara, 1988) memberikan tambahan definisi agresi dengan mengatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain, dimana obyek agresi tidak menginginkan adanya tingkah laku tersebut.
Batasan  dalam beberapa definisi tersebut diatas secara jelas mengatakan bahwa korban atau obyek  agresi tidak pernah menginginkan  tindakan agresi terhadap dirinya. Dengan demikian  dapat dikatakan bahwa tindakan memukul orang di jalan dengan tanpa adanya  kesalahan dan alasan yang jelas, tidak bisa disamakan dengan tindakan saling memukul dalam pertandingan tinju, karate dan olah raga bela diri lainnya. Karena dalam tindakan memukul orang di jalan obyek tidak menginginkan dan tidak menyetujui adanya tindakan tersebut, sedangkan tindakan saling memukul dalam pertandingan olah raga bela diri adalah tindakan yang diinginkan dan disetujui oleh kedua belah pihak.
Perilaku agresi tidak selalu berbentuk tindakan penyerangan secara fisik  yang dapat menimbulkan luka, tetapi juga dalam bentuk verbal yang berupa caci maki dengan menggunakan kata-kata keras, kotor dan kasar yang disebut juga dengan oral agresi. Prilaku agresi yang dimunculkan dalam bentuk tindakan fisik akibatnya dapat berupa luka fisik dan psikis, sedangkan tindakan agresi verbal atau oral agresi hanya menimbulkan luka psikis saja seperti timbulnya perasaan marah, tersinggung, kecemasan, perasaan takut, keinginan untuk membalas (dendam) dan gejala  traumatis.
Berdasarkan pendapat yang disampaikan para ahli diatas, dapat dimengerti bahwa agresi adalah merupakan prilaku atau tindakan yang ditujukan untuk melukai orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku agresi juga dapat dikatakan  sebagai perilaku yang disengaja yang tidak diinginkan dan tidak disetujui oleh obyek agresi, serta dapat menimbulkan akibat yang dapat merugikan secara fisik dan psikologis
 Belief dan sikap merupakan salah satu aspek penting terjadinya perilaku individu, hal ini dimungkinkan karena belief dan sikap merupakan komponen pendahulu dari intensi atau kecenderungan individu menampakkan suatu perilaku. Melalui latar belakang teori sikap dipahami bahwa intensi merupakan salah satu komponen sikap, yaitu komponen konatif. Komponen konatif ini dapat diartikan sebagai kecenderungan individu bertingkah laku sesuai dengan objek sikap (Corsini, 1984).
  Lebih jauh Engel dan Bleckwell (1982) mendefiniskan intensi sebagai suatu probabilitas subjektif bahwa keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap akan direalisasikan dalam perilaku. Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan bahwa kekuatan intensi ditunjukkan dengan probabilitas subjektif yang melibatkan hubungan antara individu dengan beberapa perilaku, terdapat beberapa harapan atau tujuan-tujuan perilaku yang bertindak sebagai fasilitator kekuatan intensi. Sedangkan menurut Djamaludin Ancok (1985) intensi diartikan sebagai niat atau kecenderungan untuk melakukan perilaku atau melakukan kegiatan, niat itu bergantung  dari sikap individu terhadap kegiatan tersebut.
Intensi sebagai komponen konatif dari sikap memiliki ciri-ciri khusus, Fishbein dan Ajzen (dalam Suhardono, 1986) merangkum beberapa ciri khusus tersebut sebagai berikut:      
a.    Behavior, yang menunjuk pada jenis perilaku spesifik yang nantinya diwujudkan.
b.    Target object, yaitu kepada siapa perilaku hendak diwujudkan.
c.    Situation, yaitu dalam keadaan bagaimana perilaku itu hendak diwujudkan.
d.    Time, meliputi beberapa lama dan kapan perilaku itu hendak diwujudkan.
Terdapat hubungan antara sikap dan intensi dalam pembentukan suatu perilaku, individu yang bersikap favourable terhadap obyek sikap, maka akan lebih cenderung bertindak positif terhadap obyek sikap dan demikian sebaliknya. Merujuk pada pandangan Fishbein & Ajzen, Djamaludin Ancok (1989) mengajukan suatu model hubungan intensi dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku.
Skema diatas merupakan skema umum dalam pembentukan sikap dan perilaku. Apabila dikaitkan dengan penelitian tentang kecenderungan melakukan tindak agresi maka kotak-kotak dalam skema diatas dapat diisi dengan beberapa hal berikut:
a.       Keyakinan akan akibat perilaku x (agresi), akibat positif yaitu merupakan salah satu cara melepaskan tekanan atau stress, Akibat negatif yaitu pemicu timbulnya tindak agresi balasan dan jatuhnya   korban.
b.       Keyakinan normatif akan akibat perilaku x (agresi), Akibat positif yaitu merupakan salah satu cara membentuk disiplin dan penegakan aturan. Akibat negatif yaitu secara umum semua komunitas sosial tidak setuju dengan perilaku agresi.
c.       Sikap terhadap perilaku x (agresi) antara lain, Terbentuk sikap positif atau negatif tentang tindak agresi.
d.        Norma subyektif  tentang perilaku x (agresi), Tindak agresi memang boleh dilakukan, namun harus memperhatikan keadaan dan situasi lingkungan serta harus melalui pertimbangan yang matang mengenai berbagai akibatnya, baik secara fisik maupun psikologis.
e.       Niat untuk melakukan perilaku x (agresi),  Berdasarkan sikap yang terbentuk tentang tindak agresi maka individu membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menampakkan tindak agresinya. Tahap ini merupakan tahap kecenderungan, yang mana masih sebatas dorongan dalam diri individu untuk memperlihatkan tindak agresinya. Jadi kecenderungan ini tidak dapat diobservasi secara langsung oleh individu lain, karena gejalanya tidak nampak dari luar.
f.        Menunjukkan perilaku x  (agresi), Berdasarkan sikap dan kecenderungan yang terbentuk maka tindak       agresi ditunjukkan atau tidak ditunjukkan sama sekali.

JENIS-JENIS AGRESI
Studi tentang perilaku agresi telah banyak dilakukan oleh para ahli psikologi dengan memakai berbagai teori dan pendekatan, studi tersebut mencakup berbagai aspek agresi sebagai suatu  perilaku yang sering  ditampakkan oleh manusia. Berdasarkan kategorisasi atau pengelompokannya ada beberapa jenis agresi yang dikemukakan oleh para akhli psikologi. Jenis-jenis agresi tersebut adalah sebagaimana dikemukakan dibawah ini.
  Berdasarkan bentuk pendorongnya , maka prilaku agresi dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu agresi emosional atau agresi impulsif dan agresi instrumental. Agresi emosional atau impulsif merupakan bentuk penyerangan terhadap orang lain tanpa ada alasan yang jelas, tindakan agresi tersebut dilakukan semata mata hanya untuk menyakiti orang lain,  yang mana hasilnya sering kali korban atau obyek agresi mengalami luka secara fisik. Sedangkan  agresi instrumental adalah tindakan agresi yang dilakukan dengan alasan-alasan tertentu atau dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu (Berkowitz dalam Koeswara, 1988; Brehem & Kassin, 1966). Agresi instrumental tidak sekedar dimaksudkan menyerang atau menyakiti orang lain saat itu juga, namun diharapkan memberi dampak pada berbagai hal lain sesuai tujuan agresor. Termasuk dalam jenis ini adalah prilaku agresi yang muncul akibat provokasi atau adanya displacement.
  Agresi juga dapat dibedakan menurut norma atau pendapat masyarakat secara umum, menurut pengelompokan ini agresi dibedakan menjadi dua yaitu agresi prososial dan agresi antisosial (Taylor, Pepleu & Sears, 1994). Agresi prososial dipandang sebagai tindakan agresi yang dapat diterima atau didukung oleh norma-norma dan aturan hukum yang ada ditengah tengah masyarakat. Sebagai contoh adalah tindakan polisi menembak penjahat, tindakan polisi yang mengakibatkan luka atau bahkan kematian terhadap objek  seringkali diterima oleh masyarakat sebagai tindakan yang benar. Sedangkan agresi antisosial adalah agresi yang secara normatif tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima oleh masyarakat secara unum, karena tindakan tersebut bertentangan dengan norma-norma dan aturan hukum yang ada dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya tindakan seorang suami yang menganiaya isterinya sampai luka parah karena dilarang isterinya main judi. Apapun alasan yang disampaikan agresor sebagai faktor pembenar tetap tidak akan diterima tindakan tersebut, karena yang dilakukannya bertentangan dengan kaidah hukum dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
  Melalui pengamatan dan penelitian dengan menggunakan subyek binatang, John Sabini (1992) mengelompokan agresi dalam enam jenis agresi sebagai berikut :
a.       Agresi predatori, yakni agresi atau penyerangan terhadap pihak lain dengan tujuan untuk dimakan atau dimusnahkan. Agresi jenis ini biasa ditemukan di lingkungan alam yang masih liar dan kehidupan masyarakat primitif, dimana satu jenis binatang menyerang dan memangsa jenis binatang yang lain atau sekelompok suku primitif menyerang kelompok yang lain kemudian korbannya dimakan bersama-sama.
b.       Agresi antar jantan, yaitu agresi akibat dorongan hormon kejantanan atau testosteron, prilaku jenis ini tidak saja sering ditemukan pada binatang, namun juga ditemukan pada manusia. Kelompok jantan pada binatang dan manusia laki-laki lebih sering menunjukkan tindakan agresi daripada kelompok betina atau manusia perempuan.
c.       Agresi berkaitan dengan jenis kelamin, yaitu tindakan agresi yang biasa muncul pada individu laki-laki untuk menunjukkan kehebatannya pada individu perempuan.
d.       Perbedaan antara agresi antar jantan denga agresi berkaitan dengan jenis kelamin adalah bahwa dalam agresi dengan jenis kelamin akan muncul hanya bila ada perempuan yang melihatnya sedangkan pada agresi antar jantan kehadiran perempuan bukan merupakan prasarat untuk melakukan agresi.
e.       Agresi maternal, yaitu  tindakan agresi yang dilakukan oleh seorang ibu atau seekor induk betina untuk melindungi anak-anaknya.Tindakan agresi semacam seringkali dapat diterima oleh masyarakat manusia, bahkan seringkali malah menimbulkan pujian dan penghargaan.
f.        Agresi untuk melawan ancaman, yaitu merupakan agresi yang muncul apabila spesies atau individu merasa ada ancaman terhadapnya. Seringkali agresi jenis ini digunakan sebagai dalih agar seseorang terlepas dari tuduhan bahwa dirinya menyerang orang lain.
g.       Agresi irritable, yaitu bentuk tindakan agresi sebagi puncak luapan rasa tidak nyaman atau kemarahan yang berlarut-larut. Bisa juga merupakan suatu tindakan yang tidak dapat dikendalikan lagi oleh induvidu karena adanya akumulasi rasa tidak nyaman.

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA AGRESI
Agresi sebagai suatu prilaku menarik perhatian dan minat para akhli psikologi untuk diteliti, para akhli tersebut berusaha dengan berbagai macam teori dan pendekatan untuk memberikan penjelasan yang seluas-luasnya secara ilmiah  tentang asal usul agresi dari berbagai sudut pandang.
  Penjelasan berikut dibawah ini akan mengemukakan beberapa pandangan teoritis mengenai asal usul agresi, sebagai berikut :
a.  Agresi Sebagai Kondisi Bawaan .
       Pandangan utama tentang agresi sebagai bawaan dasar manusia dikemukakan oleh aliran psikoanalisis (dalam Baron & Byrne, 1991). Psikoanalisa yang dikemukakan oleh Sigmund Freud menyampaikan pendapat dan pandangannya bahwa setiap manusia memiliki dua instink dasar, yaitu eros dan thanatos. Eros merupakan instink manusia untuk mempertahankan hidup yang dimilikinya, sedangkan thanatos merupakan instink manusia untuk membuat kehancuran. Berdasarkan pandangan ini, maka agresi merupakan bawaan manusia yang cenderung bersifat thanatos, sehingga setiap usaha yang dilakukan cenderung  diarahkan pada tindakan menuju kematian atau kehancuran.
           Pandangan lain tentang agresi sebagai bawaan dasar dikemukakan oleh Konrad Lorenz menurut Lorenz (dalam Brehm & Kassin), agresi merupakan kondisi instinktual. Namun berbeda dengan pandangan Freud, Lorenz menyatakan bahwa prilaku agresi dimunculkan lebih sebagai tindakan untuk mempertahankan hidup atau memperbaiki kehidupan yang sedang dijalani, dan prilaku agresi merupakan prilaku yang ditujukan untuk adaptasi dengan lingkungan. Berkaitan dengan agresi sebagai kondisi bawaan manusia Lorenz memiliki pandangan yang lebih positif tentang agresi dibandingkan dengan pandangan Freud.
b.  Agresi Sebagai Seleksi Genetik
            Pandangan sosiobiologi tentang agresi hampir sama dengan pandangan Konrad Lorenz yaitu adaptasi, pandangan sosiobiologi didasarkan pada pandangan Charles Darwin tentang evolusi. Menurut pandangan sosiobiologi, prilaku agresi merupakan usaha adaptasi untuk mempertahankan genetik secara umum bukan adaptasi yang bersifat individual (Cosmides & Tooby dalam Brehm & Kassin,1996). Agresi yang terjadi antar spesies merupakan suatu seleksi terhadap genetik –genetik yang ada, hasil akhirnya adalah genetik yang paling baik yang mampu bertahan dan keluar sebagai pemenang, walaupun diantara genetik-genetik terbaik tersebut masih terjadi agresi.
            Pandangan sosiobiologi dalam mengamati agresi sebagaimana dipaparkan sebelumnya merupakan pandangan yang didasarkan pada kondisi fisik, sehingga perlu sangat berhati-hati apabila hendak menggunakan dalam konteks ilmu sosial.
c.  Agresi Sebagai Kondisi Yang Dipelajari.
              Penjelasan lain tentang prilaku agresi dikemukakan aliran psikologi belajar.     Menurut aliran ini sebagian besar prilaku manusia merupakan sesuatu yang dipelajari, demikian juga dengan prilaku agresi proses, belajar ini biasanyan disebut dengan modelling. Prilaku agresi merupakan prilaku komplek sebagai hasil belajar. Pada proses pembelajaran melakukan tindakan agresi, individu tidak semata-mata hanya belajar menyerang orang lain, tetapi didukung dengan segala pengalaman yang dimiliki sebelumnya individu juga belajar tentang hal lain, yaitu ;
1)      Orang atau kelompok mana yang akan menjadi target atau tujuan agresi.
2)      Tindakan agresi yang seperti apa yang hendak dipilih yang kemudian      dilakukan untuk menyerang orang lain.
3)      Dalam konteks atau situasi seperti apa agresi dipandang sebagai prilaku yang sesuai dan dibenarkan (Baron & Byrne, 1991).
Tokoh lain yang dipandang memiliki kompetensi tinggi dalam menjelaskan teori-teori psikologi adalah Albert Bandura, menurut Bandura proses manusia belajar melakukan tindakan agresi adalah sama dengan proses yang dilalui manusia untuk mempelajari berbagai hal lain. Secara umum proses tersebut terdiri dari empat tahapan yang berkaitan satu sama lain, keempat proses tersebut adalah :
(1)    Protes atensional, yaitu individu memiliki rasa ketertarikan untuk memperhatikan atau mengamati model, proses ini sangat dipengaruhi oleh seringnya model hadir dan karakteristik-karakteristik yang dimiliki ,model yang sering hadir lebih berpengaruh daripada model yang jarang hadir.
(2)    Proses retensi, yaitu proses dimana individu pengamat menyimpan hasil pengamatan yang dilakukan kedalam ingatannya, penyimpanan ini dalam bentuk kode verbal maupun imajinatif.
(3)    Proses reproduksi, yaitu proses dimana individu pengamat mulai mencoba untuk mengungkapkan kembali hasil pengamatan yang telah dilakukan dan disimpannya.
(4)    Proses motivasional, yaitu proses dimana individu pengamat telah mampu menyerap perilaku yang diamatinya dan mampu mengungkapkannya dengan sempurna. Individu mampu mengungkapkan perilaku yang diamati berdasarkan rangsangan yang memancing  motivasinya (Bandura dalam Koswara, 1998)
Perilaku agresi juga merupakan hasil pengamatan individu sebelumnya pengamatan tersebut diperoleh individu dalam keluarga, lingkungan sosial, maupun media-media lain seperti televisi, surat kabar ataupun majalah. Menurut pandangan teori ini, dalam dunia modern dimana semua informasi dapat disampaikan dengan cepat mengakibatkan individu dapat belajar secara lebih baik dan mendalam. Sehingga perilaku yang dimunculkan dapat lebih sempurna, termasuk didalamnya adalah perilaku agresi.

KECERDASAN EMOSIONAL

Mempelajari dan memahami tentang pengertian kecerdasan emosional (Emotional Intellegence) memang tidak mudah, karena EI termasuk cabang ilmu yang baru dikenalkan oleh para akhli psikologi kepada kita, sedangkan sebelumnya kita lebih mengenal kecerdasan intelektual (IQ) daripada kecerdasan emosional. Namun demikian kecerdasan emosional pada akhir-akhir berhasil memikat perhatian dan minat para akhli untuk membahas dan menelitinya lebih lanjut, kemudian mengembangkannya  melalui penelitian-penelitian ilmiah di universitas. Oleh karena refrensi atau buku-buku yang menjelaskan tentang kecerdasan emosional masih sangat terbatas jumlahnya, peneliti merasa kesulitan untuk merangkum pendapat dan uraian-uraian yang disampaikan para akhli, karena terbatasnya refrensi tentang ini yang diperoleh peneliti. Tetapi peneliti tetap berusaha sekalipun dengan refrensi yang terbatas, tetap mengupayakan untuk dapat menyampaikan uraian tentang  kecerdasan emosional sebagai salah satu aspek yang menjadi obyek penelitian.
   Coleman (1996), mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Salovey dan Mayer (Stein & Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. 
   Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut adanya perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Howes dan Herald (dalam Winarti, 2001) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
  Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, peneliti mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menyadari, mengenali emosi diri sendiri maupun orang lain,  mengelola dan mengontrol emosinya sehingga dapat merespon secara tepat terhadap setiap situasi yang melibatkan emosinya, serta dapat menggunakan energi emosinya dengan bijaksana. Dikaitkan dengan tugas dan peran pasukan dalmas, sudah seharusnya setiap anggota POLRI yang tergabung dalam pasukan dalmas mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Karena dengan kecerdasan emosional yang tinggi,  setiap anggota pasukan dalmas akan dapat mengontrol emosinya  serta dapat merespon secara tepat terhadap situasi yang melibatkan emosinya ketika bertugas menghadapi massa. 
            Kecerdasan emosional (EI) bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual   yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya senantiasa berinteraksi secara dinamis dan senergis untuk  membentuk sosok individu manusia yang seutuhnya.  Memang pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mengantarkan individu mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dalam lingkungan keluarga dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Para pakar psikologi sepakat bahwa kecerdasan emosional sangat bermanfaat bagi individu untuk meredam dan mengeleminir  tekanan-tekanan psikologis, ketegangan emosional,  rasa frustrasi dan kecemasan yang dialaminya kemudian menguraikannya menjadi perasaan yang menyenangkan dan bebas dari kecemasan, dengan kata lain individu telah mengalami katarsis.
   Goleman (1996) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
a.       Kesadaran diri
   Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
b.        Kendali dorongan hati
     Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
c.       Motivasi diri
    Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui beberapa hal, yaitu  cara mengendalikan dorongan hati, derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang, kekuatan berfikir positif, optimisme, dan keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. 
d.   Empati                     
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
e.   Ketrampilan sosial                 
    Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan individu dalam pergaulan dengan orang lain, tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Individu yang tidak memiliki keterampilan-keterampilan semacam inilah yang  menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak berperasaan terhadap orang lain.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional setiap individu, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Usia
    Setiap ketrampilan dalam kecerdasan emosional mempunyai jadwal perkembangan tersendiri  dan semakin meningkatnya usia maka perkembangan kecerdasan emosional semakin kompleks dan bervariasi dibandingkan dengan perkembangan fisik atau kognitif, tetapi perkembangan kecerdasan emosional ini dalam banyak hal dapat diperkirakan (Shapiro, 1997). Pada setiap tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosional  yang dialami individu, orang tua perlu lebih memperhatikannya sehingga dapat diperoleh kecerdasan emosional yang optimal untuk menghindarkan diri dari berbagai masalah yang mungkin akan dihadapi oleh individu selama dalam perkembangannya menuju kedewasan dirinya.
b.       Pusat kendali di otak
Di dalam otak manusia terdapat amigdala yang merupakan tempat untuk menyimpan ingatan-ingatan tentang emosi. Amigdala merupakan bagian tubuh yang memproses hal-hal yang berhubungan dengan emosi, seperti perasaan salah, marah, nafsu, kasih sayang dan sebagainya, semua itu tergantung pada amigdala. Apabila amigdala hilang dari otak maka kemampuan menangkap makna emosi dari suatu peristiwa tidak ada lagi, jadi aspek perasaan sudah tidak dimiliki. Peran amigdala ini menjelaskan mengapa emosi dapat mengalahkan rasio (Goleman, 1996). Amigdala mampu mangambil alih kendali tindakan sewaktu otak sedang menyusun keputusan, yang disebut dengan “pembajakan emosi”. Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah ketika dihadapkan dengan suatu masalah yang mengganggu pikirannya akan membuat otak mereka dibentuk dalam suasana tegang, yang akan menghambat mekanisme normal sehingga memudahkan terjadinya pembajakan emosi. Dengan adanya kemungkinan pembajakan emosi maka emosi dapat membahayakan sehingga orang yang tidak mampu mengendalikan emosi cenderung menunjukkan reaksi impulsif, berlebihan, dan mudah terancam atau tersingkirkan (Pertiwi dkk, dalam seri Ayahbunda, 1997).
c.       Pendidikan emosi
  Shapiro (1997) berpendapat bahwa kecerdasan emosional dapat diajarkan kepada anak karena kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan sehingga membuka kesempatan orangtua dan pendidik untuk mengajarkannya. Semua pengalaman dan pengelolaan emosi yang berulang- ulang pada masa kanak-kanak dan remaja akan membentuk sirkuit yang menentukan kecerdasan emosional (Pertiwi dkk, dalam seri Ayah bunda, 1997). Lebih lanjut Goleman (1996), mengatakan bahwa melalui pengalaman- pengalaman emosi dan pembelajaran emosi yang tepat dan berulang, yang diterima oleh lingkungan sekitarnya, maka perkembangan kecerdasan emosional akan berkembang secara optimal.
d.       Pola asuh orangtua
   Pentingnya peran orangtua dalam pembentukan kecerdasan emosi mengacu pada pendapat Cooper & Sawaf (1998) yang memandang kecerdasan emosi sebagai sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan serta disempurnakan kapan saja pada usia berapa saja. Ahli  tingkah laku genetika  mengamati bahwa gen-gen tidak berperan utama dalam menentukan tingkah laku seseorang, tetapi banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Apa yang dialami dan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang lebih menentukan tingkah laku termasuk pola tanggapan emosi, penghargaan, tanggapan yang menyenangkan, atau hukuman yang menyakitkan semuanya akan membekas di dalam kehidupan anak- anak. Masa kanak-kanak dan remaja merupakan kesempatan emas untuk membantu kebiasaan emosional yang bermanfaat akan membawa atau bila terlewatkan akan menyebabkan kesulitan dalam memberikan pelajaran yang bersifat korektif dalam hidupnya nanti (Nurrohmah, 2000). Di dalam asuhan orang tua yang baik diharapkan dapat terpenuhi semua kebutuhan anak, baik kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, maupun kebutuhan psikis, yang berguna merangsang terbentuknya kecerdasan emosional yang baik.      
e.       Hubungan sosial dengan  individu lain
  Hubungan sosial dengan individu lain mempunyai arti yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian individu untuk mencapai kedewasan dirinya. Perkembangan kepribadian ini ditentukan oleh hubungan antar pribadi, yang dimulai dengan hubungan dengan orangtua meskipun hubungan dengan individu-individu yang lain juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan individu selanjutnya. Hubungan dengan individu dalam suatu kelompok akan meninggalkan kebiasaan pergaulan yang berguna bagi pergaulan selanjutnya dalam kehidupan individu yang mungkin tidak diperoleh dalam jaringan hubungan yang lain. Keberhasilan dalam pergaulan akan meninggalkan kepuasaan dan kebanggaan tersendiri yang besarnya hampir sama dengan kasih sayang dari pengasuhan orang tua (Sullivan, dalam Shapiro, 1997). Hubungan sosial yang baik dengan individu lain dalam kelompoknya, akan mempertajam kemampuannya dalam menggunakan keterampilan emosi dan sosial yang lebih baik, sehingga individu akan mudah diterima didalam kelompoknya.
Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih berbahagia, percaya diri, populer dan lebih sukses didalam hubungan dengan lingkungan sosial, lebih mampu menguasai gejolak emosi, memiliki  hubungan yang harmonis dengan orang tua, dapat mengelola stress, serta memiliki rasa percaya diri dan mempunyai status kesehatan mental yang baik. Individu dengan kecerdasan emosional tinggi, mampu lebih cepat menguasai perasaan-perasaan negatif dan bangkit kembali kedalam kehidupan emosi yang normal, selain itu mereka mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal baik nada bicara, gerak gerik, ekspresi wajah dan sebagainya. Mempunyai kemampuan mudah menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, lebih peka, pandai membaca emosi orang lain dan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Dalam situasi pergaulan sosial, individu tersebut juga pandai membina hubungan dan dikenal sebagai kawan yang menyenangkan dan populer, membuat orang lain disekitarnya merasa dekat, akrab dan nyaman (Goleman, 1996; Gottman & Declaire, 1997). Ciri-ciri tersebut diatas hendaknya dimiliki oleh setiap personil POLRI yang tergabung dalam pasukan dalmas, sehingga mereka akan lebih mampu mengontrol dan mengendalikan emosinya serta lebih mampu mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana ketika menghadapi massa di lapangan. Dengan demikian terjadinya insiden pelanggaran HAM  yang dilakukan pasukan dalmas di lapangan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali, sehingga setiap terjadi kasus unjuk rasa (unras) massa, diharapkan dapat berakhir dengan aman dan tertib tanpa adanya korban yang jatuh akibat agresi dan arogansi dari massa maupun aparat yang mengamankan.
  Pertiwi (1997), mengatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosional yang rendah akan cenderung kurang bahagia dalam hidupnya, kurang mampu mengelola emosi, kurang percaya diri dan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri dengan relasi sosial. Dalam menghadapi tekanan-tekanan diluar diri yang terjadi secara  terus menerus, individu tersebut mengalami kesulitan untuk mengelola tekanan-tekanan (stress) tersebut untuk diuraikan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ketidakmampuan dalam mengelola emosi dan menguraikan stress yang dialami, membuat individu menjadi sensitif, mudah tersinggung, mudah cemas, kurang percaya diri dan sulit untuk mengontrol emosi dengan baik, bahkan yang lebih parah dapat berakibat munculnya perilaku anti sosial pada individu. Kondisi psikologis semacam ini apabila dipicu oleh adanya provokasi atau stimulus dari luar yang dapat mengancam individu, akan direspon individu dengan memunculkan perilaku agresi sebagai bentuk mekanisme pertahanan ego. Realita semacam ini sering dijumpai pada perilaku pasukan dalmas di lapangan, pasukan dalmas melakukan tindak agresi menyerang massa yang dihadapinya secara brutal, karena mereka menganggap massa yang dihadapinya sebagai ancaman yang dapat membahayakan dirinya. Ketidakmampuan pasukan dalmas dalam mengelola emosi dengan baik, akan berakibat merugikan yaitu terjadinya kontra agresi antara massa dan pasukan dalmas serta terjadinya pelanggaran HAM terhadap massa yang seharusnya dilindungi dan diayomi.
Oleh : Syam Agus Mulyono