Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Selasa, 21 Januari 2014

KREATIVITAS
 


A. Konsep Kreativitas
Kreativitas didefinisikan tergantung dari orang memandangnya. Hal ini karena dua alasan, pertama karena kreativitas “konstruk hipotetis” dan yang kedua definisi kreativitas tergantung pada dasar teori yang menjadi acuan pembuat definisi. Berdasarkan penekanannya definisi kreativitas dibedakan ke dalam empat dimensi; person, proses, produk dan press. Rhodes (1961) menyebutnya “the four p’s of creativity”, berdasarkan analisis faktor Guilford menemukan lima sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu: kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali (redefinition). Selain itu definisi kreativitas juga dibedakan ke dalam definisi konsensual dan konseptual. Definisi konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli. Menurut Amabile (1983: 33) mengemukakan bahwa suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif. Dengan demikian, kretaivitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli. Definisi konsensual didasari asumsi-asumsi sebagai berikut: a) produk kreatif atau respons-respons yang dapat diamati merupakan manifestasi dari puncak kreativitas, b) kreativitas adalah sesuatu yang dapat dikenali oleh pengamat luar dan mereka dapat sepakat bahwa sesuatu itu adalah produk kreatif, c) kreativitas berbeda derajatnya, dan para pengamat dapat sampai pada kesepakatan bahwa suatu produk lebih kreatif dari pada yang lainnya. Definisi ini sering digunakan dalam bidang keilmuan dan kesenian, baik yang menyangkut produk, orang, proses maupun lingkungan tempat orang-orang kreatif mengembangkan kreativitasnya. Definisi konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif. Walaupun sama-sama menekankan pada produk, tetapi definisi ini tidak mengandalkan semata-mata pada konsensus pengamat dalam menilai kreativitas, tetapi pada kriteria tertentu. Menurut Amabile dalam Dedi Supriadi (1994: 9) sesuatu produk dinilai kreatif apabila: a) produk tersebut bersifat baru, unik, berguna, benar, atau bernilai dilihat dari segi kebutuhan tertentu, b) lebih bersifat heuristik, yaitu menampilkan metode yang masih belum pernah atau jarang dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Jadi definisi ini lebih didasarkan atas pertimbangan penilai yang biasanya lebih dari satu orang, dalam definisi ini pertimbangan subyektif sangat besar. Definisi kreativitas yang mewakili definisi konsensual dan definisi konseptual dikemukakan oleh Stein (1967) yaitu “ The creative work is a novel work that is accepted as tenable or useful or satisfying by a group in some point in time”. Dimensi kreativitas menurut definisi ini tercermin pada kriteria kreativitas, yaitu novel, tenable, useful, dan satisfying. Di pihak lain, dimensi konsensual dinyatakan melalui kata-kata that is accepted by a group in some point in time.
Pengertian-pengertian setiap istilah diuraikan sebagai berikut:
Kata novel (baru) berarti bahwa suatu produk yang dinilai kreatif bersifat orisional. Meskipun tidak baru, produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari hal-hal yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Kalimat that the creative work in tenable or useful or satisfying mengandung arti bahwa suatu produk kreatif harus berlaku, berguna, dan memuaskan sejauh dinilai oleh orang lain. Ketiga istilah tersebut menekankan bahwa hasil dari proses kreatif haruslah dikomunikasikan kepada orang lain, sehingga produk tersebut mengalami validasi konsensual. Oleh sebab itu, pengakuan orang lain, khususnya para ahli, sangatlah penting.
Kriteria Kreativitas
Penentuan kreativitas menyangkut tiga dimensi, yaitu: dimensi proses, person dan produk kreatif. Proses kreatif sebagai kriteria kreativitas, maka segala produk yang dihasilkan dari proses kreatif dianggap sebagai produk kreatif, dan orangnya disebut sebagai orang kreatif. Menurut Rothernberg (1976) proses kreatif identik dengan berpikir Janusian (Dedi Supriadi, 1994), yaitu suatu tipe berpikir divergen yang berusaha melihat berbagai dimensi yang beragam atau bahkan bertentangan menjadi suatu pemikiran yang baru. Dimensi person sebagai kriteria kreativitas identik dengan kepribadian kreatif (creative personality). Kepribadian kreatif menurut Guilford dalam Dedi Supriadi (1994: 13) meliputi kognitif, dan non kognitif (minat, sikap, kualitas temperamental). Orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang secara signifikan berbeda dengan orang-orang yang tidak kreatif. Karakteristik-karakteristik kepribadian ini menjadi kriteria untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif. Produk kreatif yaitu menunjuk kepada hasil perbuatan, kinerja, atau karya seseorang dalam bentuk barang atau gagasan. Kriteria ini merupakan paling ekplisit untuk menentukan kreativitas seseorang, sehingga disebut sebagai kriteria puncak (the ultimate criteria) bagi kreativitas.
Kriteria kreativitas pendapat lainnya dibedakan atas dua jenis, yaitu concurent criteria yang didasarkan kepada produk kreatif yang ditampilkan oleh seseorang selama hidupnya atau ketika ia menyelesaikan suatu karya kreatif; kedua concurent criteria yang didasarkan pada konsep atau definisi kreativitas yang dijabarkan ke dalam indikatorindikator perilaku kreatif.
Asumsi Tentang Kreativitas
Terdapat enam asumsi tentang kreativitas, yaitu:
1. Setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda, tidak ada orang yang sama sekali tidak memiliki kreativitas.
2. Kreativitas dinyatakan dalam bentuk produk-produk kreatif, baik berupa benda maupun gagasan (creative ideas)
3. Aktualisasi kreativitas merupakan hasil dari proses interaksi antara faktor-faktor psikologis (internal) dengan lingkungan (eksternal)
4. Dalam diri seseorang dan lingkungannya terdapat faktor-faktor yang dapat menunjang atau menghambat perkembangan kreativitas.
5. Kreativitas seseorang tidak berlangsung dalam kevakuman, melainkan didahului oleh, dan merupakan perkembangan dari hasil-hasil kreativitas orang-orang yang berkarya sebelumnya (kretaivitas merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan kombinsi-kombinasi bari dari nilai-nilai yang telah ada sehingga melahirkan sesuatu yang baru)
Jenis-Jenis Studi Kreativitas
Isu-isu dalam studi kreativitas dapat ditelaah melalui lima dimensi pertanyaan, yaiu: siapa, apa, bagaimana, mengapa, dan dimana. Masing-masing kelima pertanyaan itu menyangkut dimensi orang (person) kreatif, produk kreatif, proses kreatif, dorongan yang menimbulkan perilaku kreatif, dan tempat orang kreatif hidup dan berkembang. Studi yang diarahkan kepada dimensi person berusaha mencari jawaban atas pertanyaan, ‘siapakah orang kreatif itu ?” yang dalam arti sempit meliputi sikap, minat, motivasi, dan gaya berpikir.
Studi yang diarahkan kepada dimensi produk berusaha menjawab pertanyaan, “apakah yang dilakukan atau dihasilkan individu, atau sekelompok individu sehingga ia/mereka layak disebut sebagai orang kreatif. Jawaban atas pertanyaan ini menyangkut hasil karya, prestasi, atau penampilan individu dalam bidang yang ditekuninya. Dimensi proses dari kreativitas menyangkut pertanyaan, “Bagaimana seseorang dapat sampai kepada suatu produk kreatif?” proses apakah yang dilaluinya, tahap-tahap apakah yang dialaminya ?”.
Mengapa orang kreatif melakukan sesuatu ? motivassi apa yang mendorong mereka melakukan apa yang dilakukannya, pertanyaan ini menyangkut dimensi press dari kreativitas. Dimensi tempat, menyangkut pertanyaan, “Dimanakah individu menampilkan kreativitasnya, melalui pertanyaan ini dapat diungkap mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kreativitas seseorang.
Pendekatan Dalam Studi Kreativitas
Pendekatan studi kreativitas dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: pendekatan psikologis, sosiologis dan sosio-psikologis. Perspektif psikologis meninjau kreativitas dari segi kekuatan-kekuatan pada diri seseorang sebagai penentu kreativitas, seperti: inteligensi, bakat, motivasi, sikap, minat dan disposisi-disposisi kepribadian lainnya. Asumsi yang mendasari pendekatan psikologis yaitu manusia merupakan organisme alloplastis yang mampu mengubah lingkungannya. Pendekatan sosiologis, lebih melihat faktor-faktor lingkungan sosial budaya dalam perkembangan kreativitas. Asumsi yang mendasari pendekatan ini, yaitu kreativitas lebih merupakan fungsi dari faktor-faktor lingkungan.
Pendekatan sosial-psikologis disebut juga pendekatan transaksional. Asumsi pendekatan ini yaitu, kreativitas individu merupakan hasil dari proses interaksi sosial, dimana individu dengan segala potensi dan disposisi kepribadiannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan.
B. Pengukuran Kreativitas
Pengukuran-pengukuran kreativitas dapat dibedakan atas pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mengukurnya. Ada lima pendekatan yang lazim digunakan untuk mengukur kreativitas, yaitu: 1) analisis obyektif terhadap perilaku kreatif, 2) pertimbangan subyektif, 3) inventori kepribadian, 4) inventori biografis, dan 5) tes kreativitas.
Analisis Obyektif
Pendekatan obyektif dimaksudkan untuk menilai secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya kreatif lain yang dapat diobservasi wujud fisiknya. Metode ini tidak cukup memadai untuk digunakan sebagai metode yang obyektif untuk mengukur kreativitas (Amabile dalam Dedi Supriadi, 1994: 24), karena sangat sulit mendeskripsikan kualitas produk-produk yang beragam secara matematis, untuk menilai kualitas instrinsiknya. Kelebihan metode ini adalah secara langsung menilai kreativitas yang melekat pada obyeknya, yaitu karya kreatif. Kelemahan metode ini yaitu hanya dapat digunakan terbatyas pada produk-produk yang dapat diukur kualitas instrinsiknya secara statistik, dan tidak mudah melukiskan kriteria suatu produk berdasarkan rincian yang benar-benar bebas dari subyektivitas.
Pertimbangan Subyektif
Pendekatan ini dalam melakukan pengukurannya diarahkan kepada orang atau produk kreatif. Cara pengukurannya menggunakan pertimbangan-pertimbangan peneliti, seperti yang dikemukakan Francis Galton, Castle, Cox, MacKinnon (Dedi Supriadi, 1994: 25). Prosedur pengukurannya ada yang menggunakan catatan sejarah, biografi, antologi atau cara meminta pertimbangan sekelompok pakar. Dasar epistemologis dari pendekatan ini, yaitu bahwa obyektivitas sesungguhnya adalah intersubyektivitas; artinya meskipun prosedurnya subyektif hasilnya menggambarkan obyektivitas, karena sesungguhnya subyektivitas adalah dasar dari obyektivitas. Prosedur lain yang digunakan dalam pendekatan pertimbangan subyektif yaitu dengan menggunakan kesepakatan umum, hal tersebut apabila jumlah subyeknya terbatas. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang praktis penggunaannya, dan dapat diterapkan pada berbagai bidang kegiatan kreatif, juga dapat menjaring orang-orang, produk-produk yang sesuai dengan kriteria kreativitas yang ditentukan oleh pengukur, dan sesuai dengan prinsip-prinsip pada akhirnya kreativitas sesuatu atau seseorang ditentukan oleh apresiasi pengamat yang ahli. Adapun kelemahannya yaitu setiap penimbang mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap yang disebut kreatif, dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Inventori Kepribadian
Pendekatan inventori kepribadian ditujukan untuk mengetahui kecenderungankecenderungan kepribadian kreatif seseorang atau korelat-korelat kepribadian yang berhubungan dengan kreativitas. Kepribadian kreatif meliputi sikap, motivasi, minat, gaya berpikir, dan kebiasaan-kebiasaan dalam berperilaku. Alat ukurnya: Skala sikap kreatif (Munandar, 1997), Skala kepribadian kreatif (Dedi Supriadi, 1985), How do you thing ? (Davis & Subkoviak, 1975), Group inventory for finding creative talent (Rimm, 1976), Kathena-Torrance creative perception inventory (Torrance Kathena, 1976), creative personality scale (Gough, 1979), creative assessment packet (Williams, 1980), Scales for rating the behavioral characteristics of superior students (Renzulli, 1976), creative motivation inventory (Torrance, 1963), Imagination inventory (Barber & Wilson, 1971), Creative Attitude survey (Schaefer, 1971). Alat-aalat ukur ini dapat mengidentifikasi perbedaan-perbedaan karakteristik orang-orang yang kreativitasnya tinggi dan orang-orang yang kreativitasnya rendah. Item-itemnya biasanya menggunakan forced choice (ya, tidak) atau skala likert (Sangat setuju, Setuju, rangurangu, dan Tidak setuju).
Inventori Biografis
Pendekatan ini digunakan untuk mengungkapkan berbagai aspek kehidupan orang-orang kreatif, meliputi identitas pribadinya, lingkungannya, serta pengalamanpengalaman kehidupannya.
Tes Kreativitas
Tes ini digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam berpikir kreatif. Hasil tesnya dikonversikan ke dalam skala tertentu sehingga menghasilkan CQ (creative quotient) yang analog dengan IQ (intellegence quotient) untuk inteligensi. Terdapat beberapa tes kreativitas, yaitu: alternate uses, test of divergent thinking, creativity test for children (Guilford, 1978), Torrance test of creative thinking (Torrance, 1974) , creativity assessment packet (Williams, 1980), tes kreativitas verbal (Munandar, 1977). Bentuk soal tes ini umumnya berupa gambar dan verbal. Perbedaan tes inteligensi dengan tes creativitas, yaitu pada kriteria jawaban. Tes inteligensi menguji kemampuan berpikir memusat (konvergen), karena itu ada jawaban benar dan salah, sedangkan tes creativitas menguji berpikir menyebar (divergen) dan tidak ada jawaban benar atau salah.

Kamis, 18 Juli 2013




DERMATOGLYPHIC MULTIPLE INTELLEGENCE (DMI)

Pada suatu hari suara telepon berdering, ketika saya angkat dia menyakan tentang Bina Psikologi Surabaya, mulai dari tempat (alamat), jasa yang ditangani, tingkat pendidikan konsultannya, sampai dengan pengalaman menangani klien. Setelah dijelaskan semuanya baru dia menyatakan keinginannya untuk melakukan pemeriksaan bakat dan kecerdasan anaknya. “Baik saya siap membantu”, akan tetapi yang dia minta proses psikotesnya tidak menggunakan perangkat soal-soal atau alat peraga lainnya yang biasa digunakan oleh psikolog, yang dia inginkan adalah tes sidik jari atau fingerprint test. Singkat cerita, saya katakan, “Bina Psikologi Surabaya” memberi layanan konsultasi dengan kaidah-kaidah dan norma-norma psikologi, untuk fingerprint test kami tidak punya dan tidak melayani.
Itulah sekelumit cerita yang pernah saya alami, dan sebenarnya permintaan itu sudah beberapa kali dan beberapa orang, baik melalui telepon mapun langsung datang Bina Psikologi Surabaya (BPS), sehingga saya mulai berpikir tentang fingerprint test. Sejak itu saya mulai mencoba untuk mengenal lebih jauh tentang lat tes itu. Dari hasil penelusuran yang mungkin masih terbatas saya tahu sedikit bahwa fingerprint test adalah Alat untuk mengetahu bakat seseorang melalui analisis garis tangan atau jari dengan pendekatan Dermatoglyphic Multiple Intellegence (DMI) assessment.
Dengan membaca berbagai artikel tetang Dermatoglyphic Multiple Intellegence (DMI) assessment yang terbayang dibenak saya mengenai praktek analisis psikologis dengan Dermatoglyphic Multiple Intellegenc tidak lebih dari seorang dukun yang sedang meramal garis tangannya, hanya saja dengan analisis ini lebih modern dan menggunakan sarana teknologi canggih. Kenapa saya mengatakan serupa dengan dukun, analisis DMI ini tidak akan pernah melihat kondisi psikologis yang terjadi pada saat dilakukan tes.
Secara Genetis sidik jari bersifat menetap dan spesifik pada proses perkembangan susunan syaraf pusat, sehingga memiliki korelasi yang menentukan struktur otak yang dominan yang kemudian diinterpretasikan secara psikologi untuk mengetahui kecendrungan bakatnya. Dengan demikian anggapan ini menunjukkan bahwa potensi psikologis menetap, tidak berubah dan tidak berkembang. Padahal aspek psikologis bisa berubah dan berkembang, dengan tidak mengecilkan teman-teman yang menggunakan pendekatan Dermatoglyphic Multiple Intellegence (DMI) assessment, atau mungkin juga karena keterbatasan pengetahuan saya tentang DMI, saya masih belum bisa menerima secara logis tentang alat tersebut.

CYBERBULLYING

Bentuk interaksi yang tidak sehat semakin nyata dalam kehidupan di kalangan masyarakat sekitar. Salah satu bentuk interaksi yang tidak sehat adalah kekerasan. Seiring berjalannya waktu, kekerasan tidak hanya melalui fisik, namun juga melalui media online, baik melalui internet maupun melalui telepon seluler. Kekerasan melalui media online biasa juga disebut cyberbullying. Cyberbullying merupakan fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial individu, khususnya di bidang pendidikan dan sosial.

Cyberbullying adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan oleh teman seusia anak atau remaja tersebut melalui dunia internet. Tindakan cybdakan ying.ebut adi. -olok, mengancam,  atau SMS. rjadi aderbullying alah mengirim pesan dengan ejekan atau ancaman secara online melaluyang paling sering terjadi, antara lain: (1) pengiriman pesan ancaman secara online melalui internet dan SMS; (2) mengirimkan informasi atau gambar pribadi orang lain tanpa izin ke internet; (3) mendaftarkan orang lain tanpa sepengetahuannya kesitus-situs grup online tertentu; (4) menggunakan account orang lain dalam chating tanpa izin pemilik; (5) menyebar kabar bohong atau gossip seseorang melalui e-mail atau SMS dan; (6) menjebak seseorang sehingga mau berbagi informasi pribadi melalui chating atau SMS. Pelaku melakukan tindakan cyberbullying tersebut karena marah, ingin balas dendam, frustasi, dan ingin mencari perhatian.
Cyberbullying dapat terjadi setiap saat, siang ataupun malam. Seperti yang tertulis dalam SEJIWA (2008:17), korban umumnya remaja yang sering diejek dan dipermalukan karena penampilan dari korban, status keluarga korban, atau cara korban bertingkah laku di sekolah, sehingga membuat iri teman sebayanya yang menjadi pelaku cyberbullying.
Jenis cyberbullying yang paling sering dilakukan oleh pelaku adalah mengunjungi website untuk menyakiti korban dengan persentasi 75%, berkata jahat atau menyakiti kepada korban secara online dengan persentasi 58%, dan tindakan cyberbullying dalam chat-room dengan persentasi 56%. Jenis cyberbullying yang paling sering diterima oleh korban adalah diancam secara online dengan persentasi 35% dan pernah menerima email jahat atau ancaman dengan persentasi 21%.
Bagi pelaku cyberbullying, pelaku merasakan kepuasan apabila berkuasa di kalangan teman sebayanya. Pelaku juga merasa senang karena telah berhasil membuat korban mengalami hal-hal buruk, seperti kecemasan, perasaan tidak aman, perasaan harga diri yang rendah, kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, membuat siswa stress yang berkepanjangan, mogok sekolah, kehilangan kepercayaan diri atau bahkan bunuh diri.
Pelaku cyberbullying saat melakukan tindakannya tidak semua disebabkan oleh kompensasi karena kepercayaan diri yang rendah. Banyak di antara pelaku cyberbullying justru memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi dan sekaligus dorongan untuk selalu menindas dan menggencet anak yang lebih lemah. Ini disebabkan karena pelaku tidak pernah dididik untuk memiliki empati terhadap orang lain, untuk merasakan perasaan orang lain yang mengalami siksaan.
Salah satu penyebab seseorang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan adalah konsep diri. Konsep diri seseorang diperoleh karena pengalaman-pengalaman di dalam kelompok, sekolah, atau masyarakat. Konsep diri dapat dikatakan positif apabila seseorang dapat mengatakan hal-hal yang positif mengenai dirinya, seperti keberhasilan serta harapan-harapannya. Sedangkan, konsep diri dapat dikatakan negatif apabila seseorang hanya mengenal kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Seseorang dengan konsep diri negatif akan menggunakan segala cara untuk menutupi segala kelemahan yang dimiliknya, salah satunya dengan memunculkan tindakan kekerasan.
Konsep diri sangat erat hubungannya dengan diri individu. Kehidupan yang sehat, baik fisik maupun psikologis salah satunya didukung oleh konsep diri yang baik dan stabil. Konsep diri adalah hal-hal yang berkaitan dengan ide, pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang diketahui dan dipahami oleh individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam membina hubungan interpersonal. Konsep diri tidak langsung ada, begitu individu dilahirkan, tetapi secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu, konsep diri akan terbentuk karena pengaruh lingkungan dan pengalaman diri sendiri serta uraian yang diberikan orang lain tentang dirinya.
Konsep diri sendiri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Remaja yang memiliki konsep diri positif pada umumnya mempunyai ciri-ciri yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengatasi masalah, merasa sejajar dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar bahwa tiap orang mempunyai keragaman perasaan, hasrat, dan perilaku yang tidak disetujui oleh masyarakat, mampu mengembangkan diri karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang buruk dan berupaya untuk mengubahnya. Remaja yang memiliki konsep diri positif cenderung menjadi individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya, sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain.
Sementara remaja yang memiliki konsep diri negatif pada umumnya mempunyai ciri-ciri peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, punya sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disukai orang lain, pesimitis terhadap kompetensi. Remaja yang memiliki konsep diri negatif cenderung menjadi remaja yang kurang bertanggung jawab terhadap dirinya dan orang lain, sehingga dapat menimbulkan perilaku yang merusak dalam diri remaja. Perilaku yang merusak, seperti melakukan tindakan kekerasan. Kekerasan yang dilakukan dapat berupa kekerasan fisik dan kekerasan non fisik. Bentuk dari kekerasan fisik, antara lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Sedangkan, bentuk dari kekerasan non fisik, antara lain: mengolok-olok orang lain, memfitnah orang lain, dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini kekerasan non fisik yang dilakukan tidak lagi melalui “face to face”, namun juga melalui media online, baik melalui internet maupun melalui telepon seluler. Kekerasan melalui media online biasa juga disebut cyberbullying. Cyberbullying merupakan fenomena baru yang mewarnai kehidupan sosial remaja, khususnya di bidang pendidikan dan sosial.

Senin, 31 Desember 2012


IBU BEKERJA ATAU TIDAK BEKERJA 



Pengertian ibu rumah tangga menurut konsep tradisional adalah wanita yang menggunakan sebagian besar waktunya untuk memelihara dan mengajarkan anak-anaknya menurut pola-pola yang dibenarkan oleh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Ibu yang tidak bekerja merupakan salah satu peran tradisional yang masih tetap banyak dipilih oleh kebanyakan wanita sampai pada saat sekarang ini.

Banyak alasan yang melatar belakangi dalam mengambil pilihan ini. Namun biasanya karena lebih didominasi oleh keinginan –keinginan untuk dapat lebih berkonsentrasi kepada pemenuhan kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan rumah tangganya, seperti mengurus suami dan mengasuh anak-anak. Faktor kedekatan hubungan antara seorang ibu dengan anak pada umumnya lebih memuaskan bagi seorang ibu daripada mencari prestasi dalam dunia kerja atau dunia di luar kehidupan rumah tangganya.

Gambaran tersebut diatas, selaras dengan pendapat Sadli (1990), bahwa inti dari kewanitaan adalah keberhasilan dari seorang wanita untuk mengisi peranannya sebagai seorang ibu. Fungsi keibuan merupakan sumber kepuasan dan keberhasilan dalam hidup mereka, sehingga mereka akan selalu bersedia berada di dalam rumah untuk mengasuh anak dan melakukan kegiatan dalam rumah tangganya, seperti memasak, mengurus segala keperluan rumah tangga dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Adalah hal yang membahagiakan apabila seorang ibu dapat memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya dan sekaligus dapat menyelesaikan pekerjaan rumah tangannya serta dapat mengurus suaminya dengan baik. baik seorang ibu atau istri yang baik, suami dan anak-anak merupakan harta miliknya yang paling berharga baginya (Kartono, 1992).

Masih menurut Kartono, status ibu yang tidak bekerja atau yang biasa disebut dengan ibu rumah tangga dikenal sebagai fungsi interen wanita dalam masyarakat. Fungsi ini menegaskan bahwa peran wanita sebagai ibu dalam sebuah keluarga dan juga sebagai istri yang selalu setia mendampingi suami dalam mengelola kehidupan rumah tangganya dan dapat menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Hal ini dapat dipahami bahwa fungsi dan peranan ibu rumah tangga lebih menonjol atau lebih mendominasi daripada dengan tugas –tugas lain yang dibebankan kepadanya. Dalam melaksanakan peranannya secara umum, wanita lebih banyak yang mengutamakan fungsinya sebagai seorang ibu dan istri dalam kehidupan rumah tangganya.

Faktor-faktor yang mendorong para wanita untuk memilih menjadi ibu rumah tangga  daripada bekerja di luar rumah adalah :

1.     Adanya pemahaman bahwa secara kodratnya wanita harus berada di dalam rumah untuk mengurus suami dan mengasuh anak-anaknya.

2.     Lebih mementingkan dan mengutamakan mengurus suami dan anak –anaknya.

3.     Terbatasnya kesempatan untuk mendapatkan kerja bagi wanita.

4.     Kurangnya pendidikan yang memadai. 

Peranan sebagai seorang  istri dan sebagai seorang ibu rumah tangga mencakup sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami dan situasi yang bagaimanapun juga, yang disertai dengan rasa kasih sayang, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan pada pasangan hidupnya. Juga mendorong suami untuk berkarier dengan cara-cara yang benar dan sehat. Peranan sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu rumah tangga yang baik mencakup hal-hal sebagai berikut :

1.     Peranan sebagai partner seks yang baik dan sehat. Ada relasi kehidupan seksual yang berlebih-lebihan, tidak hiperseksual dan juga tidak kurang.

2.     Fungsi sebagai seorang ibu dan sebagai seorang pendidik bagi anak –anaknya dapat dipenuhi dengan baik apabila ibu tersebut mampu menciptakan kehidupan rumah tangga yang baik, aman dan nyaman.

3.     Peranan wanita sebagai pengatur rumah tangga. Dalam mengurus kehidupan dan kebutuhan rumah tangga yang sangat penting adalah faktor kemampuan dalam membagi-bagi waktu dan tenaga untuk melakukan berbagai macam  tugas pekerjaan rumah tangga.

4.     Peranan sebagai pasangan hidup. Diperlukan adanya kebijaksanaan, mampu berfikiran luas, sanggup mendukung dan mau mengikuti gerak langkah suami. 

Terlaksana peran dan fungsi sebagai ibu rumah tangga tersebut diatas, diyakini  akan  menciptakan  kesamaan  pandangan  dan  perasaan  sehingga dapat dikurangi segala macam salah paham serta jurang pemisah psikis dan kultural. Maka akan semakin kecil pula resiko timbulnya perselisihan dan semakin kecil resiko terjadinya perceraian.

Dalam era teknologi modern seperti saat sekarang ini, hampir seluruh dimensi kehidupan berhasil dicapai oleh kaum perempuan, terutama bagi seorang wanita yang telah cukup mengenyam pendidikan baik formal maupun non formal. Dahulu, wanita dapat dikatakan menjadi seorang ibu yang baik apabila telah berhasil mengasuh dan dapat mendidik anak  -anaknya dengan baik, selalu menyayangi dan mengasihi suami dan anak-anaknya. Namun pengertian tersebut telah bergeser karena mengikuti adanya perkembangan dan kemajuan di segala bidang kehidupan. Adanya perkembangan dan kemajuan dapat mengangkat harkat dan martabat kaum wanita pada umumnya.

Secara umum, seiring dengan pesatnya perkembangan masyarakat, kesempatan bagi wanita untuk ikut berperan dalam pembangunan cukup terbuka lebar, baik di lapangan pendidikan maupun di lapangan pekerjaan. Terbukanya kesempatan untuk mendapat peran tersebut adalah sama besarnya bagi kaum wanita dan kaum pria. Dalam usaha untuk memenuhi peran gandanya, seorang harus memiliki kemampuan untuk bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya dan harus mampu memilih berdasarkan skala prioritas kegiatan yang dilakukan agar sesuai dengan kondisi dalam keluarganya. Suami mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan istri untuk mengejar prestasi dan kemajuan.

Bagi seorang wanita, pekerjaan dapat memberikan rangsangan pendidikan dan kesempatan untuk dapat bertemu dengan banyak orang, lepas dari tugas rumah tangganya yang membosankan, dapat menimbulkan kebanggaan karena mampu melakukan pekerjaan dengan baik, dan secara lebih mandiri dapat mencari penghasilan sendiri.

Kemajuan dan perkembangan di berbagai bidang terutama dalam bidang pendidikan, telah banyak memberikan kesempatan kepada wanita untuk meningkatkan kemampuannya. Akibat dari perkembangan tersebut, maka semakin hari semakin banyak pula wanita yang mulai bekerja di luar tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Menurut Kartono, selain memiliki tugas pokok sesuai dengan naluri kewanitaanya, yaitu sebagai seorang ibu rumah tangga, wanita juga berhak mengembangkan kemampuannya dengan bekerja di luar rumah untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluarganya. Terbukanya kesempatan bagi wanita untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi telah banyak mempengaruhi pola pikirnya serta pandangannya terhadap peran dirinya sebagai seorang wanita. Mereka tidak hanya puas dengan peranannya sebagai seorang istri yang bertugas hanya sebagai pendamping suami dan ibu bagi anak-anaknya saja. Tetapi, mereka juga ingin berperan diluar lingkungan rumah tangganya. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menerapkan ilmu yang telah diperolehnya dari bangku pendidikan ataupun karena memang penghasilan suaminya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya sehari-hari. Kondisi-kondisi tersebut dapat membuat istri terpaksa ikut membantu dengan bekerja di luar tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Secara umum, beberapa alasan mengapa istri ikut bekerja diluar tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga, adalah :

1.     Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aktualisasi dan realisasi diri.

2.     Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan standar kehidupan.

3.     Untuk meningkatkan kesempatan berinteraksi dengan orang lain.

4.     Untuk mendapatkan pengalaman dari lingkungan yang berbeda dengan lingkungan rumah tangganya.  

Alasan-alasan tersebut oleh perubahan lingkungan sosial akibat adanya perubahan dalam kebudayaan masyarakat, yaitu :

1.     Adanya perubahan kehidupan dari daerah pedesaan menuju daerah perkotaan secara langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi pola kehidupan, pola pekerjaan dan struktur dalam masyarakat.

2.     Adanya perkembangan yang pesat pada berbagai bidang industri.

3.     Adanya kemajuan pada bidang pendidikan, yang dapat membuat para wanita menjadi kurang puas dengan peran tradisionalnya sebagai seorang ibu rumah tangga saja, karena dirasa kurang dapat memberi tuntutan dan stimulasi intelektual.

4.     Adanya perkembangan teknologi disegala bidang kehidupan.   

Faktor-faktor  yang menjadi pendorong wanita untuk bekerja di luar rumah, yaitu :

1.     Karena alasan ekonomi : untuk membantu pendapatan bagi keluarga.

2.     Karena adanya keinginan yang kuat untuk mengangkat status dirinya agar dapat memperoleh kekuasaan dalam keluarganya.

3.     Adanya motifasi dari dalam diri untuk menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang mampu berprestasi dan mampu hidup mandiri dalam keluarganya maupun di lingkungan masyarakat. 

Adapun manfaat bekerja bagi seorang ibu yaitu :

1.     Dapat terjalin hubungan sosial dan rasa kebersamaan antara sesama individu.

2.     Dapat memperoleh suatu pandangan yang berbeda yang berbeda dan wawasan berfikir menjadi lebih luas.

3.     Dapat saling bertukar pikiran dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dari generasi lain dan mungkin dari bidang yang lain.

4.     Dapat menambah banyak teman dan sahabat yang dapat digunakan sebagai tempat untuk bertukar pikiran.

5.     Dapat menghasilkan pendapatan bahkan juga penghargaan dari rekan kerja atau atasan.

6.     Dengan bekerja bisa mendapatkan umpan balik yang positif dan objektif, karena segala pekerjaan yang telah diselesaikan akan dinilai oleh orang lain yang ingin mengetahui apakah semua pekerjaan yang telah dikerjakan telah dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif.

Ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah ternyata tidak hanya berdampak positif, tetapi juga ada dampak negatifnya. Seperti yang diungkap oleh Baghdadi (dalam Bagimu wanita.com), bahwa wanita yang bekerja di luar rumah dapat berkurang sifat-sifat kewanitaannya dan juga dapat meningkatkan stres karena memikirkan tugas-tugas rumah tangganya dan juga memikirkan urusan pekerjaan kantornya. Lebih lanjut, kondisi tersebut dapat berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya, dapat memunculkan rasa khawatir, jenuh dan bosan pada anggota keluarganya, dapat mengurangi keinginan untuk memiliki dan melahirkan anak, dan dapat menimbulkan ketegangan dan perselisihan antara suami dan istri yang akhirnya dapat mengakibatkan perceraian.
Dampak positif wanita bekerja yaitu dapat menunjukkan bahwa kaum wanita mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya secara lebih optimal. Ibu rumah tangga yang memilih bekerja di luar rumah akan dapat lebih mandiri dalam hal mengatasi masalah perekonomiannya karena tidak sepenuhnya menggantungkan dari pendapatan suami.
Menurut Kartono (1992), dampak seorang istri yang hanya berperan sebagai seorang Ibu rumah tangga saja biasanya hanya berperan sebagai bawahan suami dan mengabdikan seluruh waktunya untuk suami dan anak anaknya tanpa mengindahkan minat-minat mereka terhadap kebutuhan dan keperluan mereka sendiri. Menurut pandangan tradisional, peranan melayani suami dan anak-anaknya serta seluruh keperluan rumah tangganya di rumah merupakan sifat yang sangat terpuji. Istri tidak punya waktu untuk mengembangkan minat dan bakatnya di luar rumah untuk menghasilkan tambahan biaya bagi keperluan rumah tangganya. Maka, praktis sang istri hanya tergantung secara ekonomis kepada suaminya.

Dampak ibu tidak bekerja
Terkurungnya seorang wanita yang tidak bekerja dan hanya berada  dalam rumah tangganya saja dapat mengakibatkan hal-hal seperti ini :
1. Wanita menjadi tidak "up to date", yang berarti bahwa wanita tersebut tidak dapat mengikuti adanya perkembangan yang ada di luar lingkungannya akibat kurangnya informasi tentang dunia luar, karena waktunya hanya terbatas dalam lingkungan rumah tangganya saja.
2. Menjadi kurang percaya diri akibat kurangnya pengetahuan dan informasi yang didapatkannya, akibatnya kepribadiannya menjadi kurang berkembang.
3. Menjadi sulit bersosialisasi dengan lingkungan disekitarnya, terutama dengan orang-orang yang belum dikenalnya.
4. Tidak siap terjun ke dalam lingkungan sosial masyarakat di sekitarnya.
5. Karena tidak mempunyai penghasilan sendiri, maka posisi ekonominya lemah dan sangat tergantung dari penghasilan suami. Bila terjadi perceraian istri tersebut akan lebih banyak mengalami kesulitan ekonomi.

Dampak ibu bekerja
Pada umumnya, seorang istri yang bekerja di luar rumah dapat berdampak terhadap keluarganya. Menurut Kartono (1992), dampak wanita bekerja, yaitu :
1. Mempunyai efek terhadap kesehatan mental bila diukur berdasarkan dari aspek psikologis. Wanita yang bekerja mempunyai simptom stres yang lebih rendah daripada ibu rumah tangga biasa. Hak untuk bekerja dapat membebaskan seorang istri dari rasa bosan dan dapat membantu tercapainya kebahagiaan pada dirinya.
2. Adanya peningkatan dalam memberikan          keputusan atau mempunyai kekuasaan dalam keluarganya. Lebih jauh dikatakan bahwa pada pasangan yang sama-sama bekerja cenderung melakukan diskusi untuk memutuskan suatu permasalahan, daripada dibandingkan pada pasangan yang hanya suaminya saja yang bekerja.
3. Bekerja dapat mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan. Bila suami dan istri bisa saling mendukung masa bisa tercapai kepuasan dalam perkawinannya. Tetapi jika pasangan tersebut tidak saling mendukung sepenuhnya, maka akan dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam perkawinannya (apabila tidak ada persetujuan sebelumnya antara suami dan istri dalam pembagian tugas rumah tangganya). Wanita yang telah menikah menganggap timbulnya ketegangan dan kerenggangan dalam hubungan suami istri diantaranya berkaitan dengan peran gandanya sebagai seorang istri dan sebagainya seorang pekerja. Keluhan-keluhan yang paling sering muncul dan yang paling umum dikemukakan oleh kaum wanita yang telah menikah dan bekerja adalah dari para suami mereka yang sama sekali tidak membantu dan tidak mendukung dalam urusan rumah tangga dan dalam hal mengasuh anak­ anaknya.

Rabu, 30 Mei 2012


BERMAIN ITU BELAJAR

Tidak ada perbedaan pendapat menyangkut kewajiban bagi setiap anak, bahwa setiap anak harus belajar. Namun, bagaimanakah dengan “bermain", apakah setiap orang tua memperhatikan dan peduli dengan “bermain” bagi anak ? apakah orang tua menyadari bahwa bermain itu merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi anak ? Sejak dahulu kala, anak-anak manusia bahkan juga anak-anak dari binatang senantiasa bermain. Lihat saja anak kucing ketika sudah mampu berjalan, mereka akan saling kejar, saling gigit dengan saudaranya yang lain, mereka akan mengejar jika kita berikan benda yang bergerak. Anak-anak manusiapun juga demikian, sejak matanya terbuka dan mulai mengikuti gerak benda yang ada didepannya, sampai dengan bisa berjalan dia akan selalu bermain dengan lingkungan sekitarnya. Banyak bentuk dan benda sebagai media bermain bagi anak, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang mewah, mulai dari yang tradisional sampai dengan yang modern, ada gasing, congklak, kelereng mungkin kalau jaman sekarang terutama untuk anak-anak yang tinggal di kota sudah mulai langka dengan permainan-permainan yang demikian, anak-anak kota lebih mengenal play station, dibandingkan dengan petak umpet.
Dengan bermain, anak-anak mengekspresikan diri dan ge­jolak jiwanya. Karena itu, dengan permainan dan alat-alatnya, seseorang dapat mengetahui gejolak serta kecenderungan jiwa
anak dan sekaligus dapat mengarahkannya.
Namun yang lebih utama “bermain” adalah suatu bentuk belajar, secara alamiah dan naluriah setiap makhluk yang dilahirkan ke dunia akan berusaha untuk mengenal lingkungannya, berusaha untuk mempertahankan hidupnya. Dari mana singa pandai menangkap rusa ? tentunya dari belajar. Belajarnya bagaimana ? Sudah pasti dari induknya. Bagaimana induknya mengajari cara menangkap mangsa ? Nah kita bisa lihat si anak singa sewaktu masih kecil dia bermain dengan induknya atau juga bermain dengan saudara-saudaranya, berlari, mencakar, menggigit, mengejar, mengendap-ngendap dan lain sebagainya. Semua bentuk permainan ini merupakan bentuk pembelajaran, bagaimana dia bisa mengenal lingkungannya, sebagai pembelajaran bagaimana dia mampu membela diri dari ancaman lingkungan sekitarnya, pembelajaran bagaimana dia bisa bertahan hidup di hari selanjutnya. Itulah yang saya atakan bahwa bermain adalah belajar yang secara alamiah dan naluriah sudah ada pada setiap makhluk yang dilahirkan.
Manusia sebagai makhluk yang jauh lebih sempurna dari binatang tentunya dalam memaknai bermain tidak hanya sekedar mempertahanan hidup saja, karena manusia mempunyai jiwa, akal pikiran dan perasaan.
Bermain adalah sarana tumbuh kembang bagi anak, Melalui bermain anak melakukan gerakan-gerakan yang bermanfaat untuk pertumbuhan mereka, bermain juga sarana belajar yang esensial bagi mereka. Melalui bermain, anak belajar tentang sosialisasi, negosiasi, berkomunikasi, pemecahan masalah, sudut pandang, pikiran dan perasaan orang lain.
Bermain atau mengantarkan anak bermain harus dibarengi dengan bimbingan orang tua, tidak semua permainan harus dilepas sendiri pada anak, tetapi juga orang tua tidak perlu selalu mengatur anak dalam bermain. Pada permainan-permainan tertentu orang tua juga harus ikut serta dalam permainan itu, namun pada permainan yang lain anak juga harus diberi kesempatan untuk melakukan dan menyelesaikan permainannya sendiri. Terkadang orang tua terlalu memaksakan keinginannya dalam bermain, yang secara tidak sadar orang tua telah menghambat kreativitas anak dalam menyelesaikan persoalan. Bimbingan dan arahan juga masih sangat penting, terutama dizaman modern ini, tidak sedikit permainan anak yang kurang mendidik bahkan cenderung berdampak negatif bagi anak. Disinilah peran orang tua sangat penting dalam membimbing, mengarahkan serta memilih bentuk-bentuk permainan.
Cukup banyak hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua dalam mengarahkan anak melalui permainan. Tidak hanya menyangkut waktu yang banyak tersita oleh pekerjaan-pekerjaan atau aktivitas di kantor, tetapi juga “kemampuan” dalam memilih permainan yang sesuai dengan anak, permainan yang lebih mendidik, karena sebenarnya permainan itu tidak harus mahal, tidak harus canggih tetapi yang lebih penting bentuk dan jenis permainan itu mampu mendidik dan mengembangkan anak. Bahkan sebenarnya banyak permaianan-permainan yang bisa dibuat sendiri, dan jika alat permainan itu mampu dibuat sendiri juga merupakan pelajaran bagi anak agar kreatif dan mendidik anak agar mampu dan mau menghargai hasil karya sendiri.

Kamis, 15 Maret 2012


KESETARAAN GENDER

Kata gender tidak dapat disamakan dengan jenis kelamin, walaupun sebenarnya keduanya memang sulit dipisahkan, tetapi yang pasti keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin lebih mengarah kepada perbedaan fungsi dan alat kelamin yang melekat pada setiap orang sejak mereka mulai tumbuh dan berkembang dalam kandungan. Laki-laki dan perempuan yang menjadi kata pembeda dari jenis kelamin tersebut. Sedangkan pada istilah gender lebih menekankan pada konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya yang berlaku pada masyarakat, artinya bukan lagi menjawab perbedaan fungsi atau alat reproduksi yang ada pada masing-masing laki-laki atau perempuan, gender tidak lagi membahas perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati yang dibawah sejak dalam kandungan, melainkan suatu bentuk rekayasa masyarakat atau suatu bentuk konstruksi sosian (social construction).
Istilah gender mulai “ngetop” sejak adanya perjuangan dari kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yaitu yang disebut “kesetaraan”. Awalnya, pada tahun 1910 sebuah konferensi internasional di Copenhagen yang diorganisir oleh kaum sosialis yang memutuskan untuk ada satu momentum hari perempuan internasional sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan hak-hak asasi perempuan dan mendorong perjuangan hak suara perempuan diseluruh dunia.  Setahun kemudian (1911) Hari Perempuan Internasional pertama kali diperingati di Denmark, Austria, Jerman dan Swiss yang melibatkan satu juta perempuan dan laki-laki melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan: hak ikut serta dalam pemilu, hak untuk bekerja, penghapusan diskriminasi dalam bekerja. Walaupun jauh sebelum itu, di tanah jawa sudah ada seorang perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dan kesetaran dengan kaum laki-laki, tepatnya pada tahun 1879 Raden Ajeng Kartini telah berjuang untuk kaum perempuan. Tidak hanya sekedar menyampaikan wacana tentang kesetaraan gender, tapi dia sudah melakukan berbagai hal agar kaum perempuan tidak menjadi kaum yang dimarginalkan.
Wacana dan perjuangan ini terus bergulir, terus diperbincangkan dan terus diperjuangkan seakan-akan tidak pernah selesai. Hal ini adalah suatu yang wajar, dengan perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial budaya telah menuntut kita untuk ikut berubah menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan tersebut. Hal lain mengapa persoalan gender ini masih terus menjadi topik perbincangan yang tidak kunjung selesai adalah di satu sisi adanya keinginan terhadap emansipasi wanita, tetapi disisi lain ada sebagian kaum wanita masih menerima, patuh, pasrah atau  bahkan ada sebagian yang dapat dikatakan “menikmati” atas posisinya sebagai “obyek” dari kalum laki-laki.
Mungkin itulah sekelumit mengapa persoalan gender masih terus diperbincangkan, dan pasti masih banyak sekelumit-sekelumit lain tentang gender, mari kita tunggu saja.