KESETARAAN
GENDER
Kata gender tidak
dapat disamakan dengan jenis kelamin, walaupun sebenarnya keduanya memang sulit
dipisahkan, tetapi yang pasti keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jenis
kelamin lebih mengarah kepada perbedaan fungsi dan alat kelamin yang melekat
pada setiap orang sejak mereka mulai tumbuh dan berkembang dalam kandungan.
Laki-laki dan perempuan yang menjadi kata pembeda dari jenis kelamin tersebut.
Sedangkan pada istilah gender lebih menekankan pada konsep yang digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya
yang berlaku pada masyarakat, artinya bukan lagi menjawab perbedaan fungsi atau
alat reproduksi yang ada pada masing-masing laki-laki atau perempuan, gender
tidak lagi membahas perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati yang dibawah
sejak dalam kandungan, melainkan suatu bentuk rekayasa masyarakat atau suatu
bentuk konstruksi sosian (social
construction).
Istilah gender mulai “ngetop” sejak adanya perjuangan dari
kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yaitu yang disebut “kesetaraan”. Awalnya,
pada tahun 1910 sebuah konferensi internasional di Copenhagen yang diorganisir
oleh kaum sosialis yang memutuskan untuk ada satu momentum hari perempuan
internasional sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan hak-hak asasi
perempuan dan mendorong perjuangan hak suara perempuan diseluruh dunia.
Setahun kemudian (1911) Hari Perempuan Internasional pertama kali
diperingati di Denmark, Austria, Jerman dan Swiss yang melibatkan satu juta
perempuan dan laki-laki melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan: hak ikut
serta dalam pemilu, hak untuk bekerja, penghapusan diskriminasi dalam bekerja.
Walaupun jauh sebelum itu, di tanah jawa sudah ada seorang perempuan yang
berjuang untuk mendapatkan hak-hak dan kesetaran dengan kaum laki-laki,
tepatnya pada tahun 1879 Raden
Ajeng Kartini telah berjuang untuk kaum perempuan. Tidak hanya sekedar
menyampaikan wacana tentang kesetaraan gender, tapi dia sudah melakukan
berbagai hal agar kaum perempuan tidak menjadi kaum yang dimarginalkan.
Wacana dan perjuangan ini
terus bergulir, terus diperbincangkan dan terus diperjuangkan seakan-akan tidak
pernah selesai. Hal ini adalah suatu yang wajar, dengan perkembangan jaman,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial budaya telah
menuntut kita untuk ikut berubah menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan
tersebut. Hal lain mengapa persoalan gender ini masih terus menjadi topik
perbincangan yang tidak kunjung selesai adalah di satu sisi adanya keinginan terhadap
emansipasi wanita, tetapi disisi lain ada sebagian kaum wanita masih menerima,
patuh, pasrah atau bahkan ada sebagian
yang dapat dikatakan “menikmati” atas posisinya sebagai “obyek” dari kalum
laki-laki.
Mungkin itulah sekelumit
mengapa persoalan gender masih terus diperbincangkan, dan pasti masih banyak
sekelumit-sekelumit lain tentang gender, mari kita tunggu saja.