Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Kamis, 15 Maret 2012


KESETARAAN GENDER

Kata gender tidak dapat disamakan dengan jenis kelamin, walaupun sebenarnya keduanya memang sulit dipisahkan, tetapi yang pasti keduanya adalah dua hal yang berbeda. Jenis kelamin lebih mengarah kepada perbedaan fungsi dan alat kelamin yang melekat pada setiap orang sejak mereka mulai tumbuh dan berkembang dalam kandungan. Laki-laki dan perempuan yang menjadi kata pembeda dari jenis kelamin tersebut. Sedangkan pada istilah gender lebih menekankan pada konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya yang berlaku pada masyarakat, artinya bukan lagi menjawab perbedaan fungsi atau alat reproduksi yang ada pada masing-masing laki-laki atau perempuan, gender tidak lagi membahas perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati yang dibawah sejak dalam kandungan, melainkan suatu bentuk rekayasa masyarakat atau suatu bentuk konstruksi sosian (social construction).
Istilah gender mulai “ngetop” sejak adanya perjuangan dari kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yaitu yang disebut “kesetaraan”. Awalnya, pada tahun 1910 sebuah konferensi internasional di Copenhagen yang diorganisir oleh kaum sosialis yang memutuskan untuk ada satu momentum hari perempuan internasional sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan hak-hak asasi perempuan dan mendorong perjuangan hak suara perempuan diseluruh dunia.  Setahun kemudian (1911) Hari Perempuan Internasional pertama kali diperingati di Denmark, Austria, Jerman dan Swiss yang melibatkan satu juta perempuan dan laki-laki melakukan aksi turun ke jalan dengan tuntutan: hak ikut serta dalam pemilu, hak untuk bekerja, penghapusan diskriminasi dalam bekerja. Walaupun jauh sebelum itu, di tanah jawa sudah ada seorang perempuan yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dan kesetaran dengan kaum laki-laki, tepatnya pada tahun 1879 Raden Ajeng Kartini telah berjuang untuk kaum perempuan. Tidak hanya sekedar menyampaikan wacana tentang kesetaraan gender, tapi dia sudah melakukan berbagai hal agar kaum perempuan tidak menjadi kaum yang dimarginalkan.
Wacana dan perjuangan ini terus bergulir, terus diperbincangkan dan terus diperjuangkan seakan-akan tidak pernah selesai. Hal ini adalah suatu yang wajar, dengan perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial budaya telah menuntut kita untuk ikut berubah menyesuaikan dengan perkembangan dan perubahan tersebut. Hal lain mengapa persoalan gender ini masih terus menjadi topik perbincangan yang tidak kunjung selesai adalah di satu sisi adanya keinginan terhadap emansipasi wanita, tetapi disisi lain ada sebagian kaum wanita masih menerima, patuh, pasrah atau  bahkan ada sebagian yang dapat dikatakan “menikmati” atas posisinya sebagai “obyek” dari kalum laki-laki.
Mungkin itulah sekelumit mengapa persoalan gender masih terus diperbincangkan, dan pasti masih banyak sekelumit-sekelumit lain tentang gender, mari kita tunggu saja.