Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Rabu, 01 Februari 2012


KEHARMONISAN DALAM PERKAWINAN PAKSA
       Perkembangan zaman semakin maju menuntut manusia untuk bisa beradaptasi dan berubah. Hal ini seharusnya dapat mempengaruhi pola pikir manusia, salah satunya adalah tentang sebuah pernikahan. Ada suatu zaman dimana masyarakat menyebutnya zaman Siti Nurbaya yaitu pernikahan atas dasar paksaan orang tua. Orang tua berperan penuh terhadap pernikahan anaknya. Orang tua tidak lagi memperhatikan hak-hak seorang anak dan sebaliknya seorang anak merasa tidak merdeka atas hak-haknya, orang tua hanya menuntut kewajiban pada anaknya yakni patuh pada orang tua.
Saat ini ternyata masih ada orang tua yang menikahkan anaknya secara paksa. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990), arti kata “paksa” yaitu mengerjakan sesuatu yang di haruskan walaupun tidak mau. Praktik kawin paksa hingga saat ini masih terjadi di beberapa belahan dunia. Padahal kawin paksa jelas tidak sesuai dengan ketentuan Nabi. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: ”Janganlah kalian menikahkan perempuan kecuali setelah meminta persetujuan darinya” . Menurut Alam (1998), kawin paksa merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa berwenang. Perkawinan jenis ini bisa di pastikan tidak akan bahagia, rumah tangganya terasa tidak harmonis. Perkawinan model ini jelas sangat kuno, sampai zaman komputer ini masih juga kita jumpai. Sudah barang tentu perkawinan jenis ini akan membuat si pihak yang dipaksa sangat menderita batin dan hidupnya sengsara. Serta semakin bertambahnya kasus perceraian akibat kawin paksa dari tahun ketahun.
Menurut Sahli (2004), rumah tangga yang harmonis adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri yang di dasari oleh kerelaan hidup bersama atau dalam arti lain, suami istri itu hidup dalam ketenangan lahir dan batin, karena merasa cukup puas atas segala sesuatu yang telah dicapai dalam melaksanakan tugas keluar yang menyangkut bidang nafkah, seksual dan pergaulan antar anggota rumah tangga.
Ciri-ciri rumah tangga yang harmonis (dalam Herviani, 1994), adalah sebagai berikut :
a.      Adanya kasih sayang, kasih sayang adalah sebuah ungkapan perasaan yang dirasakan oleh individu sebagai reaksi emosi yang dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian yang besar, saling pengertian, dan membina suasana hangat terhadap pasangan.
b.      Adanya saling pengertian., istri harus memahami kekurangan dan kelebihan suami begitu pula sebaliknya. Adanya saling pengertian antara suami istri akan menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai.
Adanya komunikasi, komunikasi merupakan satu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia karena dengan berkomunikasi akan memperkecil kesalahpahaman

Alam (1998), menyatakan bahwa kawin paksa merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa berwenang.
Menurut Alam (1998), kawin paksa merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa berwenang. Perkawinan jenis ini bisa di pastikan tidak akan bahagia, rumah tangganya terasa tidak harmonis. Perkawinan jenis ini akan membuat si pihak yang dipaksa sangat menderita batin dan hidupnya sengsara.
Pernikahan paksa pada keluarga yang cenderung agamis, keharmonisan rumah tangganya dapat diciptakan dimungkinkan karena pasangan tersebut takut di benci Allah jika bercerai. Hal ini di sebabkan masyarakat tersebut berpedoman pada hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim r.a, yang berbunyi :
ﺍﺑﻐﺽ ﺍﻠﺤﻼ ﻞ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻠﻪ ﺍﻠﻄﻼ ﻕ
Artinya : barang halal yang dibenci Allah adalah talak
Berbeda dengan pendapat di atas, Zajonk (dalam Baron, 2004), mengatakan bahwa jika seseorang bertemu dengan suatu stimulus secara terus menerus maka stimulus tersebut akan menjadi stimulus yang positif bagi seseorang tersebut. Bahkan pada stimulus yang di anggap seseorang tersebut stimulus negatif, dengan seringnya kontak dengan stimulus tersebut maka stimulus tersebut akan berubah menjadi stimulus yang positif bagi seseorang tersebut.
Baron (2004), berpendapat bahwa jika seseorang merasa tidak suka pada orang lain, dan ketika didukung dengan faktor kedekatan secara fisik, maka akan terjadi paparan berulang (repeated exposure). Dan paparan berulang tersebut akan mengakibatkan suatu afek positif yang berakibat pada ketertarikan interpersonal.
Hal tersebut di atas bisa juga terjadi pada pasangan yang rumah tangganya di latarbelakangi kawin paksa. Pasangan yang pada mulanya sama-sama tidak memiliki ketertarikan karena setiap hari berada pada satu rumah, semakin dekatnya jarak fisik di antara pasangan tersebut, setiap hari bertemu dan bertatap muka  bahkan mungkin berinteraksi berakibat pada meningkatnya evaluasi positif pada pasangannya yang pada akhirnya akan muncul ketertarikan diantara kedua pasangan tersebut sehingga terciptalah keharmonisan di dalam rumah tangganya.
Hal ini sesuai dengan pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino” yakni perasaan cinta dan kasih sayang itu akan tumbuh pada seseorang karena sering bertemu. Maksudnya adalah di mana individu yang semula tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang pada calon pasangan hidupnya, tetapi setelah menikah tumbuh sedikit demi sedikit rasa cinta dan kasih sayang tersebut karena setiap hari bertemu, bertatap muka, berkumpul dalam satu rumah, berkomunikasi, dan berinteraksi setiap hari. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada fenomena pernikahan paksa, maksudnya adalah dimana individu yang semula tidak menghendaki adanya pernikahan tersebut karena tidak adanya rasa cinta, kasih dan sayang terhadap pasangannya maka rasa itu akan tumbuh setelah individu tersebut menikah.