KEHARMONISAN DALAM PERKAWINAN PAKSA

Menurut Sahli (2004), rumah tangga
yang harmonis adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri yang di
dasari oleh kerelaan hidup bersama atau dalam arti lain, suami istri itu hidup
dalam ketenangan lahir dan batin, karena merasa cukup puas atas segala sesuatu
yang telah dicapai dalam melaksanakan tugas keluar yang menyangkut bidang
nafkah, seksual dan pergaulan antar anggota rumah tangga.
Ciri-ciri rumah tangga yang harmonis
(dalam Herviani, 1994), adalah sebagai berikut :
a.
Adanya
kasih sayang, kasih sayang adalah sebuah ungkapan perasaan yang dirasakan oleh
individu sebagai reaksi emosi yang dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian
yang besar, saling pengertian, dan membina suasana hangat terhadap pasangan.
b.
Adanya
saling pengertian., istri harus memahami kekurangan dan kelebihan suami begitu
pula sebaliknya. Adanya saling pengertian antara suami istri akan menumbuhkan
sikap saling menghormati dan menghargai.
Adanya komunikasi, komunikasi merupakan satu hal yang tidak
bisa lepas dari kehidupan manusia karena dengan berkomunikasi akan memperkecil
kesalahpahaman
Alam (1998), menyatakan bahwa kawin paksa
merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa
berwenang.
Menurut Alam (1998), kawin paksa
merupakan perkawinan atas kemauan orang tua atau saudaranya yang merasa
berwenang. Perkawinan jenis ini bisa di pastikan tidak akan bahagia, rumah
tangganya terasa tidak harmonis. Perkawinan jenis ini akan membuat si pihak
yang dipaksa sangat menderita batin dan hidupnya sengsara.
Pernikahan paksa pada keluarga yang
cenderung agamis, keharmonisan rumah tangganya dapat diciptakan dimungkinkan
karena pasangan tersebut takut di benci Allah jika bercerai. Hal ini di
sebabkan masyarakat tersebut berpedoman pada hadist Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Bukhori Muslim r.a, yang berbunyi :
ﺍﺑﻐﺽ ﺍﻠﺤﻼ ﻞ ﺍﻠﻰ
ﺍﻠﻠﻪ ﺍﻠﻄﻼ ﻕ
Artinya : barang halal yang dibenci
Allah adalah talak
Berbeda dengan pendapat di atas,
Zajonk (dalam Baron, 2004), mengatakan bahwa jika seseorang bertemu dengan
suatu stimulus secara terus menerus maka stimulus tersebut akan menjadi
stimulus yang positif bagi seseorang tersebut. Bahkan pada stimulus yang di
anggap seseorang tersebut stimulus negatif, dengan seringnya kontak dengan
stimulus tersebut maka stimulus tersebut akan berubah menjadi stimulus yang
positif bagi seseorang tersebut.
Baron (2004), berpendapat bahwa jika
seseorang merasa tidak suka pada orang lain, dan ketika didukung dengan faktor
kedekatan secara fisik, maka akan terjadi paparan berulang (repeated exposure). Dan paparan berulang tersebut akan
mengakibatkan suatu afek positif yang berakibat pada ketertarikan
interpersonal.
Hal tersebut di atas bisa juga
terjadi pada pasangan yang rumah tangganya di latarbelakangi kawin paksa.
Pasangan yang pada mulanya sama-sama tidak memiliki ketertarikan karena setiap
hari berada pada satu rumah, semakin dekatnya jarak fisik di antara pasangan
tersebut, setiap hari bertemu dan bertatap muka
bahkan mungkin berinteraksi berakibat pada meningkatnya evaluasi positif
pada pasangannya yang pada akhirnya akan muncul ketertarikan diantara kedua
pasangan tersebut sehingga terciptalah keharmonisan di dalam rumah tangganya.
Hal ini sesuai dengan pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino” yakni
perasaan cinta dan kasih sayang itu akan tumbuh pada seseorang karena sering
bertemu. Maksudnya adalah di mana individu yang semula tidak memiliki rasa
cinta dan kasih sayang pada calon pasangan hidupnya, tetapi setelah menikah
tumbuh sedikit demi sedikit rasa cinta dan kasih sayang tersebut karena setiap
hari bertemu, bertatap muka, berkumpul dalam satu rumah, berkomunikasi, dan
berinteraksi setiap hari. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi pada
fenomena pernikahan paksa, maksudnya adalah dimana individu yang semula tidak
menghendaki adanya pernikahan tersebut karena tidak adanya rasa cinta, kasih
dan sayang terhadap pasangannya maka rasa itu akan tumbuh setelah individu
tersebut menikah.