Saya punya seorang
anak perempuan, sejak kecil sudah menggunakan kaca mata dengan minus 3.25. Ketika
itu anak saya baru kelas 3 SD (sekolah dasar), kebiasaan di SD tersebut adalah
memberi tugas pekerjaan rumah. PR yang sudah dikerjakan oleh anak saya biasanya
di tunjukkan kepada saya atau kepada ibunya. Ada satu soal yang jawabannya
membuat saya tanda tanya. Pertanyaannya berbunyi begini : Jika kamu melihat
temanmu sedang berkelahi, apa yang akan kamu lakukan ? bentuk soalnya adalah
multiple coice (pilihan), yang pilhan jawabannya adalah a. Melerai, b. Lapor
Guru, dan c. Biarkan Saja. Mungkin bagi kita pasti akan menjawab pilihan a.
Melerai, namun tidak demikian dengan ank saya. Jawabannya adalah c. Biarkan
saja. Saya tidak menyalahkan ataupun membenarkan dari jawaban tersebut, saya
hanya bertanya kepada anak saya, kenapa kamu memilih jawaban biarkan saja ?
jawaban anak saya : “kalau saya melerai kaca mata saya akan ketonjok, dan akan
pecah”. Spontan saya mengatakan “bagus”, namun dalam pikiran, saya harus
mencari jawaban yang logis yang dapat diterima oleh anak yang masih kelas 3 SD,
karena saya berkeyakinan jawaban anak saya tersebut akan disalahkan oleh
gurunya. Singkat cerita, keesokan harinya setelah pulang sekolah anak saya
betul-betul protes karena jawabannya disalahkan oleh gurunya padahal saya
membenarkan bahkan memberi pujian “bagus”. Jawaban saya : “Jawaban kamu itu sangat
benar karena kamu masih kecil dan tidak mungkin bisa melerai, kalaupun akan
melerai kamu yang akan ketonjok. Kalau jawaban “melerai” itu adalah untuk
orang-orang yang sudah besar, seperti ayah, seperti ibu ataupun seperti Bu
Guru”. Alhamdulillah jawaban saya tadi dapat diterima dalam logika anak.
Kasus itu mungkin
salah satu contoh dari pola pendidikan anak yang terkadang tidak sejalan antara
perilaku yang sifatnya normatif dengan perilaku faktual yang ada dilapangan. Mungkin
saya ambil salah satu contoh lagi soal yang serupa dengan kasus anak saya
tersebut. Ada pertanyaan begini : “Jika ada orang didepan rumahmu yang
kehujanan, apa yang akan kamu lakukan ?” Pasti jawabannya adalah membukakan
pintu dan disuruh masuk agar tidak kena hujan. Namun realitasnya dilapangan
tidak demikian. Biasanya sebelum orang tua pergi (ke luar rumah) sering kali
akan berpesan “Nak jangan buka pintu, kalaupun ada tamu bilang saja bapak- ibu
sedang pergi, tidak usah buka pintu cukup dari jendela saja”. Nah itulah pesan
yang sering kita dengar dari para orang tua.
Sebaiknya
jawaban-jawaban yang bersifat normatif itu, penilaiannya tidak berdasarkan
benar salahnya menurut orang dewasa, namun lebih kepada alasan logis dari
jawaban anak tersebut. Selain itu perlu adanya kesesuaian antara norma-norma
yang diberikan disekolah (proses belajar mengajar) dengan realitas norma yang
ada dilapangan atau di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar