Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Sabtu, 12 Februari 2011

Kesiapan Psikologis dalam Menghadapi Pernikahan

   Perkawinan merupakan hukum Allah yang berlaku untuk sebagian besar makhluk hidup yang ada di muka bumi ini, dan merupakan salah satu cara dari makhluk hidup tersebut untuk memelihara dan melestarikan keturunannya. Dengan kawin, kelangsungan hidup garis keturunan dan kelestarian speciesnya akan mampu dipertahankan dari kepunahan.
    Berbicara tentang perkawinan, mungkin lebih baik kita lebih memperjelas dan mempertegas tentang arti dari “perkawinan” itu sendiri, terutama pengertian tersebut dikaitkan dengan kehidupan manusia. Seekor kambing betina telah hamil dan melahirkan, ini adalah hasil perkawinan. Bahkan ada sapi betina yang hamil tanpa pernah bertemu dengan sapi jantan, yang disebut dengan “kawin suntik”. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974, perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1/1974 tersebut sebenarnya lebih tepat kalau dikatakan pernikahan, karena pengertian “perkawinan” sudah lebih banyak atau lebih umum digunakan untuk menjelaskan hubungan seksual atau hubungan dua alat kelamin antara alat penis dan vagina, sehingga kawin dan nikah adalah dua hal yang berbeda yang tidak dapat dipersamakan dan untuk selanjutnya istilah perkawinan menurut Undang-Undang tersebut saya ganti dengan istilah pernikahan.
     Jika kita amati pengertian tersebut, maka pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dari dunia sampai dengan akhirat. Pernikahan bukan sekedar legalitas dari perasaan cinta, asmara dan pemuasan nafsuh belaka, namun ada banyak hal yang lebih mendalam didalam tirani pernikahan, yaitu hak dan tanggung jawab masing-masing orang (suami, istri dan anak serta anggota keluarga yang lain). Dengan demikian ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan :
1.  “Kawin” lebih mudah daripada “nikah”
2.  “Kawin” tanpa nikah adalah celaka
3.  “Nikah” tanpa kawin adalah sengsara
      Timbulnya keinginan untuk melakukan perkawinan atau hubungan seksual pada manusia dimulai sejak masa puber, dimana organ-organ seksualnya atau alat reproduksinya sudah mulai berfungsi, yang laki-laki ditandai dengan mimpi basah dan bagi yang perempuan ditandai dengan menstruasi, antara usia 12 s/d 15 tahun. Secara fisik remaja yang sudah pernah mimpi basah atau menstruasi sudah siap untuk kawin, sudah siap dibuahi dan membuahi, namun secara sosial, psikologi dan ekonomi masih perlu dipertanyakan.
      Sering kali “cinta” dijadikan modal utama dan satu-satunya untuk menjalani hidup berumah tangga bagi remaja tanpa memperhitungkan aspek lain, sehingga tidak jarang remaja yang jatuh cinta mengalami “buta tuli”, tidak mampu lagi melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak mampu lagi mendengar suara-suara kebenaran yang dikatakan orang tua. Padahal mereka tidak akan pernah tahu, apakah psangannya benar-benar mencintai atau tidak, yang ada hanya ucapan-ucapan cinta yang manis, belaian tangan yang mesra, kesetiaan dan kesediaan untuk datang apel, yang semuanya itu belum tentu sesuai dengan hatinya yang sebenarnya, atau mungkin kesetiaan dia hanya bersifat sementara, ketika dia hanya mampu melihat dan mendengar masnisnya asmara. Dengan demikian “saling mencintai” tidak cukup untuk modal sebuah pernikahan, kesiapan emosi bagi calon mempelai sangat dibutuhkan.
      Kematangan emosi mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup berumah tangga. Bertambahnya umur seseorang tidak menjamin bertambah matangnya emosi, artinya remaja yang sudah berumur 25 tahun belum tentu lebih matang emosinya dibandingkan dengan remaja yang masih berumur 20 tahun. Kematangan emosional dapat ditandai dengan :

a. Cinta Kasih (kasih-sayang)
Mengartikan “cinta” tidak hanya sebatas suka-sama suka, namun ada nilai-nilai yang lebih konpleks, adanya tenggang rasa, toleransi, solidaritas, tanggungjawab dalam segala kehidupan berumah tangga. “Cinta” bukan berarti adanya kemauan untuk melakukan hubungan seksual.
b. Emosi yang terkendali
Rasa ingin marah, benci, cemburu, cinta, senang, bahagia adalah suatu dari emosi yang mungkin terjadi pada setiap orang. Perasaan-perasaan ini adakalanya datang atau muncul dengan tiba-tiba, apakah karena adanya sebab, ataupun tidak tanpa adanya penyebab yang jelas. Semua emosi harus mampu kita dikendalikan, baik emosi yang mengarah ke negatif maupun mengarah ke positif. Artinya walaupun kita amat sangat mencintai sekali, bukan berarti kita harus memberikan apa saja kepada orang yang dicintai, perasaan cinta harus dikendalikan dan dibatasi. Tidak sedikit pasangan suami istri yang cerai hanya kurang mampu mengendalikan emosi.
c. Emosi yang terbuka
Mengendalikan emosi bukan berarti tidak boleh marah, tidak boleh sedih, tidah boleh cemburu. Rama marah dan cara cemburu perlu ditampakkan, agar orang lain dapat mengetahui apa yang kita rasakan. Selain itu kita juga harus terbuka terhadap kritik dan saran yang diberikan oleh orang lain.
d. Emosi yang tearah
Melampiaskan emosi bukan suatu hal yang “haram” dalam suatu rumah tangga, namun harus proporsional dan sesuai dengan fakta yang ada. Kata orang tidak membabi buta, asal “nyeruduk”. Kalau memang waktunya marah, ya marah, namun harus tahu kepada siapa harus marah. Marah dikantor dibawa pulang.
-    Kesiapan yang lain bagi calon PASUTRI yang perlu diperhatikan, bahwa pernikahan tidak sekedar mempersatukan dua orang yang berbeda jenis kelamin kedalam suatu ikatan pernikahan, namun juga mempersatukan nilai-nilai, sikap, kebiasaan, kebudayaan, bahkan dua keluarga besar yang pasti sangat berbeda, agar tidak terjadi konflik.
-    Adanya hak dan kewajiban bagi suami atau istri, sehingga masing-masing berkewajiban untuk mejalankan tugasnya sebagai seorang istri maupun sebagai seorang suami.
-    Adanya norma baru yang berlaku.


Pra-Nikah bagi Remaja
        Bagaimana remaja menyikapi era global sekarang ini, dimana informasi yang diterima sudah semakin mudah dan murah. Rp. 3.000,- sudah cukup untuk menonton film porno, dan untuk mendapatkannya tidak perlu jauh-jauh, sebelah kanan-kiri kita, sudah banyak menyediakan. Ada tiga pokok pikiran untuk menghadapi medan situasi lingkungan yang semakin merusak moral, yaitu :
1.   Syariat agama
Syariat agama merupakan benteng kuat didalam menghadapi badai lingkungan yang setiap saat dapat mengancam para remaja. Taat dan manut kepada Allah dan Rasulnya insyaallah akan selamat dan terhindar dari badai moral yang dahsyat.
Yang terjadi, remaja 90% meletakkan dirinya sebagai “lekaki” atau “perempuan” dan 10% meletakkan dirinya sebagai manusia. Kalau manusia minat dirinya pada akal budi, sedangkan lekaki atau perempuan minatnya lebih pada halusnya kulit, besarnya payudara, ukuran celana dalam, staminanya, dan seterusnya.
2.   Pendekatan Ilmu dan pengetahuan sosial
Kesadaran akan pentingnya pendidikan sudah terlihat dengan semakin sedikitnya orang yang buta huruf. Namun pendidikan yang dilakukan, baik disekolah, dirumah maupun dalam lingkungan sosial, lebih menekankan pada perubahan knowlidge (pengetahuan) saja, sedangkan pada kesadaran dan pemahaman tentang pengetahuan tersebut, masih belum. Remaja hanya diberikan bahwa yang ini halal yang itu haram, yang ini boleh yaitu itu tidak boleh, tanpa diberikan mengapa itu boleh, mengapa tidak boleh.
3.   Pendidikan cinta
Pendidikan cinta merupakan ilmu yang kurang laku, berbeda dengan pendidikan seks, walaupun bayar mahal pesertanya tetap akan membludak.
Namun pengertian cinta telah mengalami penyempitan, menjadi hubungan lelaki-perempuan, padahal cinta lebih luas mencakup hubungan laki-laki dan perempuan, manusia dengan manusia, manusia dengan Allah, manusia dengan alam.


Tahyul dalam Pernikahan
-    Tidur beralas koranpun tidak apa-apa, asal saling mencinta. Kenyataannya, banyak pasutri yang bercerai dab menikah lagi dengan orang yang lebih kaya.
-       Melakukan hubungan seks pra-nikah membuktikan rasa cinta. Padahal kita tidak pernah tahu tentang kebenaran cintanya.
-       Bibit, bebet dan bobot sangat berpengaruh terhadap keabadian berumah tangga.
-       Gadis selalu berdarah pada waktu malam pertama.
-       Suami selalu diatas, dominan, pencari nafkah sedangkan istri harus pasif, diam dirumah, mengurus anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar