Laman

*** BINA PSIKOLOGI SURABAYA *** Alamat : Jl. Kedung Tarukan 2 / 31-A Surabaya, Telp. 03170272815 / 0817309685, email : mudhar.bps@gmail.com

Minggu, 30 Januari 2011

MOTIVASI BERPRESTASI SUATU TINJAUAN LINTAS BUDAYA

A. Pendahuluan.
         Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial, individual, dan berketuhanan (W.,A., Gerungan, 1991).  Sebagai makhluk sosial, individual, dan berketuhanan, ia tidak dapat melepaskan dari aktivitas atau kegiatan sehari-hari yang lazin dilakukan guna memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. 
          Kebutuhan merupakan sumber dorongan manusia dalam melakukan suatu aktivitas, apakah aktivitas belajar, aktivitas bekerja, aktivitas berolahraga, aktivitas rekreasi, maupun aktivitas lainnya dalam kehidupan.
         Dalam melakukan aktivitas sehari-hari,   manusia memiliki kecenderungan untuk mencapai prestasi yang optimal sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.   Misalnya dalam kegiatan belajar, ia melakukan rangkaian aktivitas belajar untuk mencapai  prestasi belajar yang tinggi.    Di sisi lain, prestasi yang dicapai dipengaruhi oleh intensitas usahanya, dan intensitas usaha itu juga dipengaruhi oleh dorongan untuk memenuhi kebutuhannya. 
         Berbagai ragam dorongan yang dimiliki oleh individu   untuk mencapai prestasi,  disebut motivasi berprestasi.  Motivasi berprestasi  berperan memacu motif (daya) yang mendorong perilaku individu  untuk memperoleh prestasi yang tinggi.  Jadi prestasi yang tinggi ini sebagai kebutuhan yang ingin dicapai.  Kebutuhan dan dorongan-dorongan merangsang seseorang untuk berbuat atau bertingkah laku (Kartini Kartono, 1994).
      Perbuatan atau tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh budaya di mana ia bertempat tinggal.  Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh makhluk manusia dalam gennya bersama-sama kelahirannya misalnya tindakan makan, minum, atau berjalan dengan kedua kakinya, juga dirombak olehnya menjadi tindakan berkebudayaan. 

        Pendapat itu lebih mendeskripsikan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh budaya, artinya  perbedaan budaya menentukan perbedaan perilaku.   Ilustrasi ini,  memberikan pemahaman kepada kita bahwa motivasi berprestasi juga dipengaruhi oleh budaya.  Lingkungan  budaya yang memacu seseorang terdorong melakukan aktivitas,  besar manfaatnya bila dibandingkan dengan lingkungan budaya yang justru melemahkan aktivitas.   Seseorang yang hidup di suatu budaya yang memacu motivasi berprestasi, berbeda dengan seseorang yang hidup di suatu   budaya yang melemahkan motivasi berprestasi.  Pada lingkungan budaya yang memacu motivasi berprestasi, memberikan nilai psikologis untuk memiliki keinginan bersaing,  yaitu keinginan untuk mengalahkan temannya dalam berbagai aktivitas, misalnya aktivitas belajar, aktivitas berolahraga, dan aktivitas bekerja.  Sedangkan pada lingkungan budaya yang melemahkan motivasi berprestasi,  tidak memberikan nilai  psikologis  untuk bersaing.  
         Yapsir Gandi Wirawan (1994) mengutip penemuan Ruith Benedict seorang sarjana anthropologi, bahwa dorongan bersaing yang dulu juga dianggap sebagai instink ternyata juga berbeda-beda bergantung sekali kepada kebudayaan yang bersangkutan. Dorongan bersaing tidak dapat ditemukan pada suku Indiann Zuni yang selalu akan membantu keluarga lain yang mengalami kesukaran. Demikian pula dorongan ini tidak ditemukan pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo. Sebaliknya dorongan bersaing yang sangat berlebihan ditemukan pada suku Indian Kwakiutl.
         Berdasarkan pendapat, penemuan, dan uraian  di atas, penulis  menyimpulkan bahwa motivasi berprestasi sebagai salah satu wujud perilaku manusia juga dipengaruhi oleh budaya.

B.  Konsep motivasi berprestasi.
               Pengertian motivasi berprestasi.  Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (1990)  motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang, sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.  W.,S., Winkel (1984) mengemukakan  motivasi adalah semua yang berhubungan dengan timbulnya dan berlangsungnya motif.  Sedangkan motif ialah segala daya yang mendorong subyek melakukan sesuatu.   Lebih lanjut (Sumadi Suryabrata,  1990) menyatakan  motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan.
          Prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah ia melakukan suatu usaha.  Hartono (1996) menyatakan  prestasi ialah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk suatu pencapian tingkat keberhasilan tentang sesuatu tujuan, karena sesuatu usaha telah dilakukan oleh seseorang.
           Apabila kedua konsep tersebut dipadukan, maka motivasi berprestasi bisa diartikan sebagai suatu dorongan atau berbagai faktor yang menimbulkan motif (daya) yang mendorong  seseorang untuk melakukan perilaku yang memiliki intensitas kuat dalam mencapai prestasi.  Berbagai faktor atau dorongan itu, berperan memacu motif untuk mengerakan aktivitas atau perilaku seseorang dalam mencapai prestasi yang optimal, artinya prestasi yang dicapai sesuai dengan tingkat kemampuannya.     
               Ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi.    Secara intuitif,  orang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memperoleh prestasi yang tinggi,  bila dibandingkan dengan orang yang motivasi berprestasinya rendah (Saifuddin Azwar, 1989).  Di lain pihak keberadaan motivasi berprestasi pada seseorang dapat diamati melalui sejumlah ciri-ciri tententu.
               John Atkinson (1974)  mengidentifikasikan empat ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi, yaitu: “ free choice, persistance  behavior, intensity of performance, dan risk preference”.  Apabila penulis terjemahkan  ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi menurut  John Atkinson, ialah bebas memilih, tingkah lakunya ulet, kerja keras, dan menyukai tugas-tugas yang berisiko.  Individu yang  motivasi berprestasinya tinggi,  memiliki kecenderungan untuk bebas memilih strategi-strategi yang konstruktif untuk berbuat atau bertingkah laku dalam mencapai tujuan.  Tingkah laku mereka sangat ulet artinya tidak mudah putus asa, ia memandang bahwa kegagalan sebagai indikasi kurangnya usaha, menyukai kerja keras, dan cenderung menyukai aktivitas-aktivitas yang berisiko.
              Ciri-ciri lain dikemukakan oleh Edwards yang dikutip oleh Yuniati dalam Saifuddin Azwar (1999)  ialah : (1) melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, (2) melakukan sesuatu dengan sukses, (3) mengerjakan sesuatu dan menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha yang terampil, (4) ingin menjadi penguasa yang terkenal atau terpandang dalam suatu bidang tertentu, (5) mengerjakan sesuatu yang sangat berarti atau penting, (6) melakukan suatu pekerjaan yang sukar dengan baik, (7) menyelesaikan  teka-teki dan sesuatu yang sukar, (8) melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain, dan (9) menulis novel atau cerita hebat dan bermutu.
          Berdasarkan pendapat dan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi berprestasi, ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1) Ulet dalam melakukan aktivitas, bekerja keras  dengan menggunakan strategi atau metode yang relevan untuk mencapai tujuan. (2) Menyukai tugas-tugas yang berisiko, percaya diri, dan menyelesaikan tugas-tugasnya mengunakan usaha yang terampil. (3) Ingin menjadi penguasa yang terkenal dan terpandang dalam suatu bidang tertentu. (4) Memiliki nilai yang sangat berarti terhadap tercapainya tujuan, dan dorongan bersaingnya sangat tinggi. (5) Melakukan sesuatu lebih baik dengan orang lain. 

               Teori-teori motivasi.   Ada beberapa teori yang mendasari mengapa manusia memiliki dorongan-dorongan yang menyentuh motif (daya) yang berperan menggerakkan perilakunya.  
          Teori yang cukup populer dan hampir dapat diterapkan pada berbagai aspek kehidupan ialah  teori kebutuhan Abraham Maslow (Frank G., Goble, 1987).  Menurut teori ini,  pemenuhan kebutuhan manusia sebagai motivator melakukan aktivitas. Kebutuhan-kebutuhan itu, dirumuskan oleh Maslow dalam teori hirarki kebutuhan (need hierarchy theory),   yaitu : (1). Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (Physiological Needs), yang meliputi : pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, tempat berlindung, sex, dan kesejahteraan individu. (2). Kebutuhan rasa aman (Safety Needs), yang meliputi : perlindungan fisik dan perlindungan psikologis. (3). Kebutuhan sosial (Social Needs), yaitu kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain, kebutuhan akan perasaan dihormati, kebutuhan untuk ikut serta atau berpartisipasi, dan kebutuhan untuk bisa berprestasi. (4). Kebutuhan akan harga diri (Esteem Needs), yaitu kebutuhan untuk memuaskan egonya, seperti; memiliki mobil bagus, berpakaian indah, status sosial yang tinggi, dan memiliki gelar kesarjanaan. (5). Kebutuhan ingin berbuat yang lebih baik (Self Actualization), yaitu kebutuhan untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu melakukan  sesuatu yang lebih baik bila dibandingkan dengan orang lain. Kebutuhan  terakhir ini mendorong orang memiliki motivasi berprestasi.
           Menurut Mc Clelland dalam teorinya yang disebut teori motivasi sosial,  dikutip oleh  Moh. As’ad (1998) “ timbulnya tingkah laku manusia karena dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada pada dirinya”.  Kebutuhan itu yaitu: (1) Need for Achivement, merupakan kebutuhan untuk mencapai sukses. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku pada usaha untuk mencapai prestasi tertentu.  (2). Need for Affiliation, merupakan kebutuhan akan kehangatan dan songkongan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. (3). Need for Power, merupakan kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi terhadap orang lain, misalnya kebutuhan untuk memimpin pada suatu bidang pekerjaan tertentu.  Menurut Mc Clelland ketiga kebutuhan tersebut munculnya sangat dipengaruhi oleh situasi yang sangat spesifik. Apabila individu tingkahlakunya didorong oleh tiga kebutuhan  itu, maka akan nampak ciri-ciri : (1) berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif, (2) mencari feed back di dalam perbuatannya, (3) memilih risiko yang sedang yang berarti masih ada peluang untuk berprestasi yang lebih tinggi, dan  (4) mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya. 
         Teori lain tentang  motivasi, ialah teori kebutuhan model Edwards. Menurut Edwards yang dikutip oleh Moh. As’ad (1998) “ kebutuhan-kebutuhan yang dapat mempengaruhi motivasi individu  diklasifikasikan menjadi 15 kebutuhan yang nampak pada manusia dengan kekuatan yang berbeda-beda.  Dari kelima belas kebutuhan yang berkaitan dengan motivasi berprestasi ialah kebutuhan achivement, yaitu kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain. Kebutuhan ini mendorong individu untuk menyelesaikan tugas-tugas lebih sukses untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
   
C. Pengaruh  budaya terhadap motivasi berprestasi.           
          Perilaku manusia tidak dapat dipisahkan dari budaya. Ia merupakan produk dan sekaligus pencipta budaya.  Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa (H. Abu Ahmadi, 1991).  Cipta, karya, dan rasa mengikat perilaku individu dalam berbuat, bertindak, dan beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya.
         Motivasi berprestasi merupakan bagian dari tingkah laku manusia, ia berperan memacu motif untuk menggerakkan tingkah lakunya.  Tingkah laku yang digerakkan oleh motif tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan yaitu prestasi yang tinggi dalam aspek kehidupan.  Dengan demikian, motivasi berprestasi juga dipengauhi oleh budaya, di mana manusia bertempat tinggal. 
        Penelitian pengaruh budaya terhadap motivasi berprestasi banyak dilakukan oleh para ahli dalam bidang psikologi.   Marshall H. Segali, et al (1990) mengutip hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh McClelland dan teman-temannya dalam menyelidiki perbedaan anak-anak dengan budaya US, di mana mereka menemukan bahwa skor motivasi berprestasi tinggi pada anak laki-laki berasal dari ibu yang hangat dan suka memberi harapan, dan ayah yang tidak otoriter. Sedangkan skor motivasi berprestasi rendah ditemukan pada anak laki-laki yang berasal dari orang tua otoriter, yang memberikan banyak tuntutan kepada anak-anak mereka selama masa kanak-kanak. 
         Selanjutnya penelitian dilakukan dalam budaya lain di luar Amerika. Rosen yang dikutip oleh Marshall H. Segall, et al (1990) menemukan anak-anak Brazil yang berasal dari keluarga dengan ayah yang otoriter,  memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Begitu juga di Turkey dengan tipe orang tua yang cenderung sangat otoriter, ditemukan anak-anaknya memiliki motivasi berprestasi yang rendah pula.  Hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa sikap dan perilaku orang tua kepada anak-anaknya yang membentuk suatu budaya tertentu mempengaruhi motivasi berprestasi.
          Pendapat para sarjana antropologi budaya yang dikutip oleh Yapsir Gandi Wirawan (1994)  diketahui  bahwa  dorongan-dorongan dan tingkah laku manusia  di dunia ini berbeda-beda sekali, bergantung pada kebudayaan-kebudayaan setempat.  Seorang anthropologi lain, Ruith Benedict  dalam (Yapsir Gandi Wirawan, 1994)  juga menemukan pada tahun 1934 bahwa dorongan bersaing yang dulunya dianggap sebagai instink itu ternyata juga berbeda-beda bergantung pada kebudayaan yang bersangkutan.  Dorongan bersaing tidak diketemukan pada suku Indian Zuni, Hopi, Arapesh, dan Pueblo. Sebaliknya dorongan bersaing yang sangat berlebihan ditemukan pada suku Indian Kwakiutl.  
          Penelitian tentang  budaya dan motivasi berprestasi belum banyak dilakukan di Indonesia.   Dalam kaitannya dengan motivasi berprestasi,  Saifuddin Azwar (1989)  menyatakan bahwa motivasi berprestasi merupakan fungsi dari variabel-variabel kepribadian yang lain. Dikarenakan motivasi berprestasi bukan merupakan aspek kepribadian bawaan atau diperoleh dari keturunan, melainkan merupakan suatu hal yang dipelajari dan terbentuk dari pengaruh lingkungan. 
          Dari hasil penelitian dan uraian di atas,  diperoleh suatu dasar yang kuat bahwa  betapa besarnya budaya  mempengaruhi motivasi berprestasi individu.  Di sisi  lain,  budaya sebagai  hasil cipta, rasa, dan karsa manusia harus senantiasa dikembangkan untuk memacu perilakunya yang positip. Budaya membentuk lingkungan, dan lingkungan mempengaruhi perilaku manusia.  Dengan demikian dalam  peradapan manusia di era globalisasi ini, pengaruh budaya terhadap perilaku tidak mudah dihindarkan.                  

D. Penutup.
             Sejak lama motivasi berprestasi menjadi salah satu pokok bahasan dan penelitian para ahli psikologi, baik di bidang psikologi sosial, psikologi belajar, dan bidang-bidang psikologi lainnya.  Kehadiran motivasi berprestasi pada diri manusia bergantung pada budayanya.  Di satu pihak, lingkungan budaya tertentu,  berpengaruh positip,  artinya meningkatkan motivasi berprestasi. Namun dalam lingkungan budaya lain, justru  menurunkan motivasi berprestasi individu.
             Lingkungan budaya di mana orang tua memberi suasana hangat, suka memberi harapan, dan tidak otoriter, berpengaruh meningkatkan motivasi berprestasi anak.  Dan sebaliknya lingkungan budaya di mana orang tua bersikap otoriter terhadap putera-puterinya, menurunkan motivasi berprestasi. Pada lingkungan pertama ditemukan pada anak-anak dengan budaya US, begitu juga pada lingkungan kedua. 
         Para sarjana anthropologi budaya berpendapat bahwa dorongan dan tingkah laku manusia di dunia ini berbeda sekali, bergantung pada kebudayaan setempat.  Dorongan bersaing yang dulunya dianggap sebagai instink itu ternyata  berbeda-beda, bergantung juga pada kebudayaan yang bersangkutan.   Dorongan bersaing yang sangat tinggi ditemukan pada suku Indian Kwakiutl. Dan sebalinya pada suku Indian Zuni, Hopi, Arapesh, dan Pueblo, tidak diketemukan dorongan bersaing.
         Budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, yang mempengaruhi motivasi berprestasi individu.  Secara psikologis motivasi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap usaha individu, untuk mencapai tujuan.  Dalam konteks ini, perlu diciptakan dan dikembangkan lingkungan budaya yang mampu meningkatkan motivasi berprestasi individu,  dan dihindarkan lingkungan budaya yang merugikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar